Yessi

Yessi menatap Lian. Tak terdengar sepatah kata dari mulut mereka. Itu terjadi selama dua puluh menit.

Terdengar suara isak tangis dari mulut Lian. Yessi masih diam. Itu terjadi selama sepuluh menit.

Tangis Lian mulai reda. Yessi masih diam. Yessi mundur dua langkah, membalik badan lalu berjalan menuju pintu depan, membuka pintu lalu pergi.

Lian menangis lagi, makin keras. Tidak ada Yessi disitu.

Yessi dan Lian

Banyak persepsi yang membedakan mereka berdua dari berbagai sudut :

Dari sudut orang tua, mereka adalah sahabat dekat. Yessi sering menginap di rumah Lian, begitu sebaliknya. Terbahak-bahak hingga larut lalu hening.

Dari sudut guru, mereka adalah teman sebangku yang saling perhatian dan nempel . Di sekolah tidak ada yang berani mengganggu salah satunya, karena lainya akan dibuat murka karenanya.

Dari sudut teman-teman-nya, mereka adalah orang  yang menyimpang. Mungkin Sakit. Prilaku abnormal bukan hal yang rahasia dari teman-teman Yessi dan Lian. Bukanya terlalu show off, tapi mereka berdua memang kerap tertangkap basah.

Dari sudut Yessi dan Lian, mereka adalah adalah Kambing dan Domba. Anak kecil sering terkecoh membedakanya. Kambing yang mencintai Domba, begitu sebaliknya. Siapapun pasti menganggap itu gila, Kambing kok bisa mencintai Domba.

Ada satu lagi, masyarakat, yang memandang mereka adalah korban gaya hidup, penyakit psikologis, perbuatan dosa, dan nista. Kalau sakit sih boleh saja, toh mereka tidak ingin seperti itu. Kadang pula orang sakit tidak pernah merasa sakit. Tapi bagaimana bisa sembuh, ketahuan saja sudah habis dihujat dan dikucilkan masyarakat.

Yessi dan Reza

Satu waktu, Lian marah besar karena Yessi dekat dengan pria teman sekelasnya, Reza. Yessi dan Lian ketahuan jalan bareng di salah satu mall di Jakarta Selatan. Setelah kejadian itu, terlebih-lebih setelah Lian naik pitam, Yessi sudah tidak dekat lagi dengan Reza. Hingga akhirnya kejadian itu terjadi.

“Kita itu normal ? Abnormal ? atau abu-abu sih ?”  Suara Lian yang bergetar.

Ya normal. Memang kita sakit? gila?” Yessi menjawab seenaknya.

“Kali ini aku coba untuk serius. Aku memikirkan ini beberapa bulan lalu. Yessi tolong dengar aku.” Lian menarik tangan Yessi den menggeser bahunya. Sehingga mereka berhadapan.

“Apa kita senang menjadi kita ? Maksudnya, kita ini. Aib ini. Penyakit ini. Kenistaan yang bikin malu keluarga kita ini.” Mulut Lian tidak berhenti bergetar. Matanya Berair.

“Kita kan saling mencintai. Kita bahagia, bukan?” Berbeda dengan Lian. Wajah Yessi penuh dengan kebingungan, “Kalau kita bahagia, mengapa kau pertanyakan ini?”

“Aku bahagia. Sangat. Teramat-sangat. Tapi ada pertanyaan yang mengganjal hatiku. Hingga perasaanku bergetar.”

“Apa itu? Percayalah. Tak da gunanya kau pertanyakan ini semua.”

“Kau, Yessi, apakah ketika kau melihat ibumu, adik perempuanmu, teman-teman baik mu, dan sanak saudaramu. Apakah kau ingin melihat mereka seperti kita? Apabila iya, berarti kita adalah benar. Apabila tidak, berarti ada sesuatu buruk dalam diri kita dan kita selalu membuat itu nampak manis.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *