Jeroan babi digantung-gantung bak tirai di halaman rumah orang betawi. Amisnya mencekik hidung yang hilir mudik, kecuali si tuan grobak, Hans namanya.
Hans adalah generasi ke-tiga yang tinggal di daerah Glodok — pecinan terbesar di Batavia yang berasal dari kata ‘golodog’, artinya pintu masuk rumah dalam bahasa sunda — dan sejak lahir sudah tinggal di Hindia Belanda. Kakeknya datang ke tanah Batavia setelah Perang Candu di Tanah Tiongkok. Setelahnya ia menetap dan membangun kerajaan disini, diantara berkuasanya pedagang-pedagang Arab dan sisa-sisa kerajaan Sunda Kelapa. Namun, hingga kakeknya meninggal setahun yang lalu, ia tidak pernah melihat Tanah Tiongkok, hanya saja ia diwarisi cerita, keyakinan, bahasa, dan wajah asli Tiongkok. Olah karenanya, ia akan melanjutkan misi sang Kakek : menjual jeroan Babi.
Huh, sang Kakek memang kecewa benar melihat Hans tidak berubah. Usahanya seperti berjalan di tempat. Sejauh inilah Sang Kakek berlayar ribuan kilometer untuk menghasilkan cucu penjual jeroan babi dengan penghasilan paling banyak empat puluh Gulden sehari. Setimpalkah pengorbanan nenek dan kedua orang tuanya yang meninggal dilalap api, karena Hans kecil dengan cerobohnya bermain dengan tungku. Hal-hal itu yang selalu disesali Hans. Dialah satu-satunya yang tersisa, membawa serta kesialanya.
Setiap harinya, sebelum matahari terbit, ia akan datang ke pemotongan babi untuk membeli jeroan babi. Dengan grobak nya ia berjalan menuju satu sudut pasar di Glodok. Ia menyusun usus, jantung, dan hati di atas grobak yang sekaligus sebagai lapak penjajakan ketika matahati sudah muncul sebahagian. Ia akan kembali pulang apabila jeroanya habis atau matahari sudah di atas kepalanya.
Ketika pulang, ia akan duduk di depan sebuah pohon menteng dan merenung. Kakeknya bilang, pohon menteng itu tumbuh ketika Hans lahir. Umurnya sama. Nasibnya berbeda. Pohon itu tumbuh besar, berbuah, dan meneduhi. Hans hanya tumbuh dan menjadi seorang pecundang. Huh, ada saatnya ia benar ada saatnya juga salah. Tapi ia merasakan seluruh hidupnya adalah kesalahan dan kebenaran yang ia ketahui adalah meyakinkan bahwa semua hidupnya salah.
***
Ia mengenal seorang Inlander bernama Sjam. Seorang Muslim yang intelek. Sjam sempat kuliah di Rotterdam untuk mengambil gelar hokum, dengan sebelumnya menyelesaikan sekolah H.B.S dengan peringkat pertama. Kembali ke tanah air sebagai pemberontak dan sering keluar masuk bui. Ia tidak sengaja bertemu Sjam dua tahun silam ketika Sjam pulang dari kegiatan keagamaan di Kwitang dan dikejar oleh mata-mata yang ia duga utusan pemerintahan. Sjam sembunyi di grobak babi milik Hans, setelahnya ia berterima kasih pada Hans dan memuntahkan semua isi perutnya ketika mengatahui ia telah bersembunyi bersama tumpukan jeroan babi. Beberapa kali setelah kejadian itu ia bertegur sapa di jalan atau dipasar. Sjam sering sekali datang ke Glodok untuk membeli sesuatu, sebisa mungkin ketika ia menginjakan kaki di Glodok, ia akan mengunjungi grobak babi Hans.
Satu sore, pertengahan tahun 1922. Sjam datang ke gubuk Hans. Entah siapa yang memberitahu tempat tinggal Hans karena selama ini Hans belum pernah memberitahu alamatnya. Namun ia pikir Sjam itu orang cerdas, bukanlah perkara kalau soal urusan mencari alamat, jadi ia tidak mempertanyakan itu.
Sjam datang dengan nafas terputus-putus. Ia senderkan di pohon menteng sepeda Simplex buatan Belanda itu.
“Bolehkah aku menginap barang satu-dua hari ditempatmu, Hans?” Ujar Sjam tanpa basa-basi.
“Dengan senang hati, namun apa gerangan yang menimpamu, Sjam?”
“Bukanlah hal besar, hanya seperti biasa, anjing-anjing belanda yang gemar melolong,” balas Sjam.
Hans mempersilakan tamunya itu masuk, ia membereskan barang yang berserakan di ruangan depan.
“Kau tunggu sini sesaat. Aku akan mempersiapkan kamarmu,” Hans dengan gesit masuk ke dalam kamar yang berhubung langsung dengan ruang tengah itu, “Semenjak kakekku meninggal, belum pernah ada yang tidur dirumah ini selain aku.”
“Tak usahlah kau repot repot, Hans, aku sudah cukup senang dipersilakan menginap di rumahmu ini,” Ujar Sjam.
Nampaknya Hans khusyuk benar mempersiapkan kamar Sjam. Dengan leluasa Sjam menatap sediap sudut ruangan rumah kayu itu, ” Sejak kapan bangunan ini dibangun, Hans?” Tanya Sjam.
“Tahun 1880, sebelum rumah ini diperbaiki,” jawab Hans.
“Oleh kakekmu?”
“Oleh rekan-rekan kakekku tepatnya. Kami gotong royong membangun tempat ini.”
Setelah menatap setiap sudut rumah, Sjam mengakhiri dengan duduk di kursi bambu di ruangan depan rumah Hans. ” Rumahmu nyaman sekali Hans.”
“Hanya peninggalan leluhurku,” Hans nongol dari balik tirai kamar itu, wajahnya sumringah seperti anak kecil yang berhasil membangun istana pasir, “Nampaknya kau cukup lelah, langsung kau istirahat saja, Sjam.”
Sjam tersenyum, namun dengan raut wajah yang rumit. Ia nampak khawatir. Sjam tidak tidur hingga tengah malam. Memikirkan suatu hal. Alasan mengapa ia harus menginap disini. Ia khawatir.
***
Babi lagi. Pikir Sjam. Siang hari sebelum jeroanya habis benar, ia tidak berfikir lama untuk tinggal lama di pasar ini. Ia akan pulang karena temanya menginap di rumahnya. Hanya saja, ia berencana membeli beberapa makanan yang bisa Sjam makan. Sjam tidak makan babi, pikirnya, mungkin lebih baik ia belikan sayuran saja.
Warung Liam, yang menjual kebutuhan sehari-hari, tidak begitu jauh dari lokasi grobak Hans, hanya dengan berjalan kaki sekitar lima belas menit sudah terdengar celoteh perempuan setengah baya bernama Liam yang berbicara apa saja, mulai dari menghitung belanjaan hingga bercerita pengalamanya yang berganti-ganti suami hingga tiga kali. Suami pertamanya, meninggal karena TBC. Suami keduanya, minggat pada janda muda yang tenar bukan kepalang. Dan suami terakhirnya, giliran si Liam yang menginggalkan suaminya karena ia pikir suaminya tidak becus mengurusi rumah tangga. Cerita itu ia jajakan dengan legak tawa, seakaan ia menertawakan dirinya sendiri yang kini menjanda.
Sekitar seratus meter dari kios bambu Liam, kejauhan Hans mendengar suara samar Liam. Ia buka lebar-lebar kupingnya untuk menangkap suara dari kios yang nampak kecil di ujung matanya. Rasanya itu seperti suara tangisan, tidak seperti biasanya. Makin dekat Hans makin yakin Liam memekik histeris. Ia menangis dikrumuni oleh warga sekitar. Ternyata kiosnya sudah terbakar sebagian. Setelah menyaksikan lanjutan kisah sedih Liam, Hans beranjak pulang. Hans pikir, apakah nanti ketika Liam memiliki kios baru, Ia akan menceritakan kejadian kebakaran ini dengan tawa, karena Hans yakin ketika mantan suaminya yang minggat atau mati itu, ia histeris jua.
sudah tidak ada sepeda simplex Sjam. Kemana Gerangan Sjam, pikir Hans. Rasa penasaran makin bertambah ketika ia mendapatkan isi rumahnya berantakan. Jantungnya mulai beredetak hebat, keringat mulai menyerap keluar dari pori-pori wajahnya, wajahnya beraut cemas seperti bocah memecahkan gelas emaknya.
Sekitar kamar Sjam, yang ditutupi tirai, menyebar bercak darah yang mengering. Ia kaget bukan kepalang ketika membuka tirai itu.
Dipojok ruangan ia menyaksikan tubuh Sjam yang penuh darah….
Bentar itu bukan Sjam….. Itu orang lain….. Apa yang telah terjadi !! Kemana perginya Sjam? Lalu mengapa ada mayat di rumah Hans.
Leave a Reply