Pria paruh baya turun dari mobil mewah.
Wajahnya bijaksana.
Sangat pandai bicara tentang kesejahteraan dan persatuan.
Percayalah tentang kesejahteraan karena ia memang sejahtera.
Pakaianya mewah dan mahal. Itulah sejahtera.
Percaya juga tentang persatuan karena ia memang bersatu.
Bersatu dengan partai-partai dan koloni-koloninya. Untuk uang, untuk singgasana.
Pria itu menggunakan rompi oranye, bertuliskan : Tahanan KPK.
Rompinya murah, tapi dalamnya tetap mahal.
Ingatlah beberapa saat sebelumnya, di balik layar kaca.
Ketika suaranya menembak-nembak.
Membakar semangat rakyat, tentang kesejahteraan Nusantara.
Ingatlah lagi, masih di balik layar kaca.
Senyumnya yang bijaksana, membantu petani yang bercocok tanam.
Ingatlah lagi, kali ini di depan layar kaca.
Orang-orang dibodohi, diperkosa, dimutilasi, hingga habis tak bersisa.
Kita seperti para kedelai, begitu bodoh dan tak berdaya.
Tak melihat ; mana benar mana salah ; tak tahu kita dibodohi atau tidak.
Kita tidak pernah paham dengn teori – revolusi, kesejahteraan, pembangunan, pemberantas kemiskinan, dan kata-kata teoritis – yang dilontrakan mereka.
O, siapakah itu.
O, mengapa begitu.
O, mengapa kami tak menyadari bisulnya.
O, kami tertipu.
Tertipu, terptipu, tertipu. Kata-kata itu berulang di darah para kedelai.
Jadi, apakah itu negarawan dalam kamus kita?
Adalah penipu penuh bisul yang bicara tentang harumnya parfum yang abstrak dan tidak dimengerti.
Jakarta, 28 Oktober 2013.
Leave a Reply