DALAM beberapa bulan terakhir perusahaan daring raksasa asal Amerika Serikat, yaitu Google Inc, bersitegang dengan pemerintah Indonesia dalam masalah perhitungan pajak. Google dianggap tidak memenuhi kewajiban membayar pajak atas kegiatan usaha yang selama ini berjalan di Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, Google bisa saja dikenai nominal pajak dan denda sebesar Rp400 triliun* (*terdapat kesalahan penulisan angka, mestinya 400%).
Hal tersebut merupakan satu dari gugusan usaha pemerintah untuk meningkatkan pendapatan dari sektor pajak. Tidak pandang bulu, dari perseorangan hingga perusahaan raksasa dituntut untuk membayar kewajiban pajak mereka, atau akan denda berlipat-lipat. Sejauh ini kebanyakan perusahaan mempan, tapi belum dengan Google. Sejak didirikan Larry Page pada 1998, Google telah menjadi perusahaan raksasa dengan pendapatan sebesar US$66 miliar (2015). Bahkan majalah bisnis ternama, Fortune, telah menobatkan Google sebagai daftar perusahaan terbaik dalam 10 tahun terakhir, dengan tujuh kali di antaranya menempati posisi nomor satu.
https://www.instagram.com/p/BPZJcWYgVEs/
Selain itu kekuatan Google dalam industri daring makin kuat dengan pengembangan bisnis yang begitu masif. Kini lini bisnis utama mereka bukan hanya mesin pencari, tetapi sudah melebar pada produk surel, peta digital, sistem operasi (android), dan banyak lainnya. Bahkan Google terus membuka peluang dengan melakukan banyak inovasi untuk terus menguasai peluang bisnis teknologi di masa depan.
Prestasi tersebut bukanlah hal yang janggal, karena tiap tahunnya di Indonesia pun Google hampir selalu menempati posisi teratas dari laman yang sering diakses masyarakat Indonesia. Bahkan kata googling sudah menjadi kata yang lumrah untuk merepresentasikan aktivitas mencari sesuatu dalam daring. Ketergantungan masyarakat Indonesia pula begitu tinggi dengan produk-produk Google lainnya, seperti, perangkat mobil pintar (OS Android) yang terintegrasi pada aplikasi buatan Google, yaitu surel (gmail), video (youtube), penerjemah, dan lainnya.
Hemat penulis, ada dua sisi mata uang yang menarik dilihat. Pertama adalah Google masih enggan melepas pasar Indonesia yang begitu potensial. Mengingat pengguna internet di Indonesia terbesar ke-12 di dunia dengan jumlahnya 50 jutaan (2016). Di sisi lain, Google seakan keberatan menyepakati kewajiban pajak atas usahanya di Indonesia. Padahal jumlah pajak di Indonesia bukanlah perkara sulit apabila dibandingkan keuntungan dan pasar yang potensial di masa depan.
Angkat kaki
Preferensi yang khalayak harapkan adalah Google menyepakati nominal dan tunduk atas peraturan dalam negeri, terutama dalam hal pajak. Lalu bagaimana apabila mufakat tidak terjadi? Ketegasan Indonesia sangat penulis tunggu dalam perkara ini. Apabila Google masih tetap besar kepala, mestinya pemerintah sudah dapat memberikan kebijakan yang tegas, Google dipersilakan angkat kaki dari Indonesia.
Angkat kakinya Google dari Indonesia sangat wajar dipandang kecewa oleh khalayak. Sebabnya adalah ketergantungan akan produk Google telah banyak memengaruhi di banyak sektor, terutama bisnis-bisnis yang kecil ataupun besar yang berafiliasi. Itu menjadi perkara utama, belum yang lainnya. Namun, hemat penulis ada dua hal yang bisa menjadikan keuntungan bagi Indonesia apabila kita meniadakan Google di dalam negeri.
Pertama, adalah memberikan kesempatan untuk berkembangnya potensi lokal. Berkaca pada Tiongkok yang sudah lebih dulu melarang perusahaan daring terkemuka seperti Google, Twitter, Whatsapp, dan Facebook beroperasi di negaranya, berdampak pada banyak perusahaan lokal yang berkembang untuk menggantikan produk serupa, seperti Baidu, Wechat, Youku, dan Weibo. Bahkan Baidu mencetak keuntungan sebesar US$10,25 miliar pada 2015. Hampir 1/6 dari keuntungan Google karena Baidu hanya kebanyakan beroperasi di Tiongkok.
Untuk mengembangkan potensi lokal di bidang iptek, pada dasarnya bukan hal yang sulit bagi Indonesia. Sebenarnya SDM iptek di Indonesia sangat mampu untuk menyokong berkembangnya industri teknologi saat ini dan masa depan. Berdasarkan penelitian Pappiptek-LIPI (Indri dkk, 2015-2016), Indonesia kini punya SDM iptek berjumlah 7,1 juta orang (2014) yang siap dikembangkan.
Kedua, akan ada kontrol penuh dari pemerintah atas konten-konten yang dilarang. Misalnya, kita akan lebih mudah membatasi konten pornografi yang mempunyai definisi berbeda dengan kebanyakan negara Barat. Selain itu masalah yang akhir-akhir ini muncul, yaitu berita-berita hoax yang tersebar, akan lebih mudah dibatasi dengan otoritas penuh. Informasi penting lainnya yang terkoleksi dari daring yang jumlahnya sangat besar bisa dimiliki, disimpan aman, dan dimanfaatkan untuk kepentingan negeri dalam pelaksanaan kebijakan dan menjaga rahasia negara.
Terlepas dari pandangan penulis, tentunya ada atau tidak adanya Google di Indonesia mestinya harus turut merubah pola pikir bangsa kita. Indonesia bukan hanya harus siap menghadapi perkembangan teknologi yang begitu cepat, tapi harus berani menjadi pemain utama dalam perkembangannya. Karena tanpa kita sadari, bisa jadi kita terlena dengan eksploitasi teknologi dari asing tanpa mau untuk menyainginya.
_________________________________________________________________________
Leave a Reply