Hari Paling Bahagia Ke-Tiga

Selamat Bu Flora, hasil diagnosa menunjukkan Anda sudah sehat betul. Anda tidak perlu datang ke sini lagi. Hanya sesekali saja apabila Bu Flora ada keluhan.

Kalimat itu menyambutku seperti pecandu judi yang kegirangan mendapat lotre. Dokter Fuad yang selama tiga tahun ini aku temui saban minggu pada akhirnya mengucapkan kalimat itu. Sebenarnya aku sudah pesimis, penyakit ini sepertinya betah di tubuhku, namun ia pergi juga. Ah sungguh tidak sabar untuk mengabari suamiku dan anak-anak. Mereka pasti senang ibu mereka kembali lincah

Sekitar empat puluh tujuh tahun hidupku jarang senang berlebihan. Terhitung hanya tiga kali. Pertama ketika adikku lahir tahun 1960, aku senang teramat sangat karena pada akhirnya aku meninggalkan bonekaku sebagai teman bermain. Lalu, pada saat Reihan, suamiku, melamarku. Rasanya seperti melayang jauh ke nirwana. Dan terakhir saat ini, ketika aku sembuh bertahun-tahun dari penyakitku. Kali ini rasanya campur aduk : senang-terharu-pasrah. Rasanya itu seperti Tuhan meniupkan roh pada jasadku yang membeku. Seperti Hidup Kedua kalinya.

Bentar.. Bentar.. apakah aku telepon suami anak-anakku tentang kabar ini ? Tapi aku tidak bisa melihat raut wajah mereka  yang senang. Aku  akan beri kejutan saja.  Duh… Rasanya tidak sabar untuk datang dan memberi kabar ini. Semoga mereka semua ada di rumah ketika aku pulang.

Dokter Fuad, saya sangat berterima kasih selama tiga tahun ini. Sungguh tidak ada yang bisa menggambarkan kebahagiaan saya saat ini.  Saya merasa Anda seperti saudaraku. Sampai kapan pun, walaupun saya tidak sakit lagi, saya akan mengunjungimu sesekali.

Air mataku sudah tidak terbendung. Isak ini sama seperti tiga tahun lalu ketika Tuhan menitipkan penyakit ini, dan sekarang ketika penyakit ini sirna, aku menangis dengan cara yang sama. Tentunya Isak ini mempunyai makna yang berbeda : kebahagiaan.

Aku berkeliling untuk menyalami semua suster dan staf yang kukenal. Tiga tahun cukup untuk kami berbagi cerita. Ah, rutinitas yang membuatku bosan ini akanku rindukan, bukan tentang penyakitnya tapi orang-orang di sini yang kuanggap seperti keluargaku. Bu Samin, suster senior yang sering berbincang tentang suka-duka kehidupan wanita, mengucurkan air matanya. Bukan karena ia menjanda selama dua puluh tahun, namun aku yakin Ia akan merindukan teman curhat yang selalu mengeluh, yaitu aku.

Setelah habis semuanya kucurahkan, kembali kuingat suami dan anak-anakku. Hampir saja lupa tentang kejutan untuk mereka. Pada akhirnya aku harus akhiri suka di tempat ini. Ada tempat lain yang masih ditunggu. Semakin jauh langkahku dari klinik ini rasanya semakin lepas diriku. Aku menatap halte bus di seberang jalan, tiga puluh menit dari bus di seberang jalan itu aku akan sampai di rumah. Duh rasanya tidak sabar.

Langkah ini sangat bahagia, seperti langkah malaikat dengan sayapnya. Hingga akhirnya ketika aku tepat di tengah jalan, aku menengok ke kiri, arah suara nyaring teramat sangat. satu meter di depanku tepat mobil dengan kecepatan tinggi. Lalu gelap.

Untuk sahabat lamaku, Handar Beni (1988-2002), dengan rencana Tuhan yang tidak kau kira. Aku merindukan coletahanmu, kawan !

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *