Gol Budi
Budi berada dua langkah di depan bola.
Sekitar tiga meter dari Budi, Yadi dan Rahmat berdiri sebagai pagar betis.
Nandang siap-siap menjaga gawang selebar dua langkah dengan sekat berupa sandal.
Dengan sekuat tenaga yang dihasilkan dari sepiring nasi dan sayur kangkung besrta satu gelas ale-ale, Budi menendang ke arah pojok kanan sendal jepit.
dan… Gooooooooool !
Budi berlari menghampiri Bayu melakukan selebrasi, yaitu kaki Budi berada di paha Bayu yang sedang berlutut. Seakan-akan Budi sedang mengelap sepatu Budi. Padahal Budi dari tadi memang nyeker.
Di sisi lain Nandang, Yadi, dan Rahmat protes bahwa tidak gol. Bola berada tepat di atas sandal yang artinya itu kena tiang.
Budi dan Rahmat tentunya tidak setuju. Bola lebih banyak berada di sandal bagian dalam yang artinya bola kena tiang dan memantul ke dalam.
Budi membuat gestur begini: mengepalkan jari-jari pada titik yang sama. Seperti tangan sedang makan tanpa sendok tapu ujung jari menghadap keatas. Seperti orang italia yang sedang protes, ia bicara pada “itu tadi gol, stupido”
Perkelahian pun tidak bisa dihindari.
Tapi yang menang tentu saja Nandang, ia yang berhak memutuskan bahwa itu memang tidak gol.
Karena ia yang punya bola. Hadiah dari ayahnya ketika dikhitan.
Tanpa Nandang, tidak ada sepakbola di lapangan itu.
Mau tidak mau semua harus setuju.
Kalau mau bola kembali bergulir.
Wasit
Seorang anak sedang menonton sepakbola bersama ayahnya.
“Ayah mana yang namanya wasit?”
“Itu. Yang sedang dipukuli ramai-ramai“
Penghujung Virdi
Tiba-tiba Timnas
Kala itu Timnas Indonesia U-23 menyentak orang-orang karena berhasil mengalahkan Korea Selatan.
Saya nonton, seperti biasa, tentunya senang.
Menonton di TV sendiri saja. Karena Bapak-Bapak milenial introvert yang tinggal di komplek, tidak sempat untuk nobar. Rawan sakit punggung dan masuk angin untuk cari nobar di pos kamling terdekat.
Berita tersebut masuk telinga istri saya. Tiba-tiba ia jadi jadi-jadian Bung Tris Irawan.
Ketika pergi kerja, pengen kusapa Istriku “Salam Olahraga!”
Dua pertandingan setelahnya, partai penentuan, Indonesia perlu melawan Guinea di Prancis.
Istriku tercinta, sudah menyiapkan kasur angin depan TV. Cemilan, selimut, dan anak-anak yang tiba-tiba fans Timnas garis keras. Seharian mungkin, Istriku Pecinta Olahraga ini, mendoktrin untuk menjadi Thom Haye di masa depan. Padahal Bapaknya, pengen anaknya seperti Boaz Salossa. Aku diam saja, pinggul saya terlalu lelah kalau perlu menjelaskan siapa Boaz Salossa.
Permainan baru sepuluh menit, 2 instastory ia sudah post.
Menit dua puluh lima, ia tidur. Juga anak-anak.
Seperti biasa, Bapak-Bapak ini noton sendiri lagi.
Febri Mulyadi
Seorang anak kecil ditanya, siapa pemain favoritnya?
Jawabnya: “Ciro alpes, jeung Pebri Mulyadi”
Mestinya Febri Hariyadi, pemarin Persib.
Mulyadi dan Hariyadi sama-sama nama yang lumrah bagi masyarakat Jawa Barat. Wajar tertukar.
Tapi hal-hal seperti itu sering kali berlaku. Persib di Jawa Barat lebih seperti pengetahuan wajib, suka atau tidak suka sepakbola.
Orang akan lebih tahu Atep dari pada Dada Rosada.
Mereka mungkin tidak menonton, tapi tahu siapa saja pemain bola nya.
Banyak anak-anak kecil di Jawa Barat akan lebih tahu Beckam Putra daripada David Beckam.
Saya saksi mata, kasus-kasus seperti itu absolut.
Karenanya, juara kemarin, di Bandung selalu bersuka cita.
Yang menang, tidak cuma Febri Mulyadi, tapi Febri Harianto, Mulyana, atau mungkin benar-benar si Hariyadi.
Leave a Reply