I
“Mak, apa aku sekarang mesti keluar ? ”
“Ya, anakku, kau semestinya begitu.”
“Hari ini, mesti kemana kah aku, Mak?”
“Perempatan jalan saja atau, bila kau mau, kau bisa di jembatan penyebrangan.”
“Lalu bagaimana dengan sekolahku, Mak?”
“Sekolah kan ujung-ujungnya buat cari uang. Apa salahnya kau lebih dulu cari uang, bukan?”
“Tapi sekarang, aku dengar dari orang-orang yang berbincang, pemerintah telah melarang kita, Mak. Bahkan untuk orang-orang yang memberikan kita uang.”
“Mereka itu jahat. Melarang orang untuk bersedekah. Padahal sedekah itu adalah anjuran untuk semua agama.”
“Aku percaya padamu, Mak. Kau adalah ibu yang paling benar dan baik. Aku akan pergi sekarang.”
“Dimas, pergilah. Jangan lupa kau belikanku satu lusin telur ayam ketika kau pulang.”
“Baik, Mak. Assalamualaikum.”
“Walaikumsallam.”’
II
Jakarta sudahlah penat. Berdesak-desakan seperti pembagian sembako setiap hari di setiap sudutnya. Dimas, anak dua belas tahun, semangat bekerja seperti instruksi Ibunya. Namun, ia teramat pintar untuk memakan mentah-mentah sugesti ibunya. Ia berjualan tisu yang ia ambil dari Pak Romli, orang dekat pengemis di sini, dan ia jual kembali. Ia beli Rp 1.250 dan dijual Rp 2.000. Ia tidak mengemis. Ia berjualan seperti kebanyakan orang dan itu tidak dilarang pemerintah. Toh, dengan menjual tisu ia bisa membeli satu lusin telur permintaan ibunya. Mungkin saja lebih bila ia bersemangat.
Ia tidaklah berbohong. Dari perempatan jalan ia berjualan hingga jembatan penyebrangan. Gemerincing uang sudahlah ia kumpulkan, buat nanti ia berikan kepadaan Pak Romli dan sisanya untuk ia ambil.
Dari pagi hari, ketika banyak orang mondar-mandir untuk bekerja, hingga petang Dimas menjajakan tisu-nya. Inilah saatnya ia menghitung laba. Ia duduk di trotoar dengan membagi uangnya antara kertas dan logam dan seribuan-seratusan.
Dari jauh terdengar deru petugas datang ,dengan seragam hijau-hijau, membuat pengemis-pengemis kocar-kacir melarikan diri. Tidak dengan Dimas, ia diam saja. Karena dia tahu, seorang pengemis yang dilarang, bukan seorang pedagang. Tapi ia turut jua ditangkap.
III
O, sirna sudah. Uang disita sebagai barang bukti. Bingunglah sudah Dimas, karena pedagang sama juga dengan pengemis. Sama-sama ditangkap. Ia pulang dengan lesu. Asa sudahlah musnah.
Ia pulang tanpa telur dan uang. Malah, hutang ia dapat karena modal tisu yang juga hilang. Ibunya tersenyum, “Nak, kemarilah,” Ibunya merangkul anaknya yang terisak, “Aku bangga padamu, nak”
Dimas menangis makin kencang. ibunya ia peluk erat-erat hingga daster lusuh tua itu berkerut-kerut karena genggamanya,
“Nak, kau itu anak hebat,” tak terbendung juga hati ibu yang keras itu. Ia menangis pula lalu membalas Dimas dengn memeluknya, “Besok sudahlah kau bersekolah saja Nak. Kau adalah anak yang mulia. Tidakkah kau menyadarinya, Nak? Kau mengemis lalu kau malah berjualan, bukanlah kau tak ingin menjadi Nista? Namun kau dicampakkan. Belajarlah, Nak. Naiklah Tingg,i Nak. Lalu lindungilah kami. Berilah jalan kami”
Dimas mulai mereda. Lalu bibirnya bergetar, “Bolehkah ketika pulang sekolah aku kembali ke perempatan, Mak?”
Ibunya Tersenyum.
Leave a Reply