Kopi dan Teh

Meja bundar berdiri kokoh bertulangkan rotan dan berlapis kulit dengan cat kusam. Beberapa sudut meja itu dihiasi cat putih dengan kelupasan-kelupasan yang tak teratur. Wajar saja, setengah abad lebih meja itu ada bahkan berdiri kokoh di tempat yang sama, tanpa ada yang berani memindahkanya seinci pun.

Bila Tuhan memberikan nyawa dan mulut untuk meja itu, akan banyak cerita dibuat. Terutama tentang sepasang cangkir yang selalu ada sebelum matahari seperempat meninggi. Satu cangkir berisi kopi panas yang meletup ganas seperti lava yang seakan menyemburkan panasnya dari gunung Krakatau dan tak jauh darinya secangkir teh yang lebih hangat seakan  meredam keganasan lava yang memijar panas.

Kamis, 16 Agustus 2012

Terpampang tebal berwarna biru di  kalender berbentuk segiempat setelah seorang pria tua merobek kertas bagian terluar. Pria tua itu tersenyum senang diantara keriputan-keriputan kusut di kulit wajahnya.

Berkemeja kusam berwarna abu-abu dengan celana katun hitam di atas mata kaki, beralaskan sandal kulit yang menemani setiap langkahnya pria itu melangkah keluar dengan sisa-sisa tenaga untuk menopang tulangnya yang mulai rapuh. Di depan pintu,  terpampang tulisan terukir di atas plat berkarat : Dr. Sudibjo Oemar

“Kakek Umar Alien”, begitu orang sekitar menyebutnya. Sebutan itu bukanya tak beralasan, sejak tahun 1983 Umar menutup prakteknya itu tidak pernah berkomunikasi dengan tetangganya sekalipun, bahkan hanya untuk menyapa atau tersenyum.

Spekulasi yang beredar diantara penduduk sekitar adalah Umar menutup prakteknya karena stress ditinggal istrinya pulang kampung dan tidak pernah kembali,  hidup dari sisa tabunganya dan tanah yang sedikit demi sedikit habis terjual. Kini hanya tersisa rumah tua tahun 60an saja berdiri, tanahnya yang dua hektar terhampar di depan rumahnya sudah menjadi perumahan sejak akhir tahun 2001.

Umar meneguk kopi yang mulai menghangat, sambil memandang keramaian di depan rumahnya. Sesekali melirik kursi rotan kosong di sampingnya dan secangkir teh yang tidak kunjung habis, pastinya tidak mungkin pernah habis.

Dari dalam otaknya bereaksi gejolak-gejolak memori yang terputar kembali seperti sebuah kaset yang memutar balik, seperti mesin waktu yang kembali ke lima puluh tahun lalu.

“Suara angin diantara pohon bambu seperti suara suling, suara air menetes di atas batu seperti suara trambolin, dan suara burung berkicau seperti suara maestro”, wanita cantik bernama ajeng menarik nafas sambil memejamkan matanya, seaakan semua suara-suara itu ia hisap untuk dipedengarkan ke jantungnya.

“Musik hebat pasti punya banyak penggemar, untuk musik alam ini adalah kamu”, pria muda berwajah cerah dengan rambut hitam licin rapi bernama Umar.

“Juga kamu, dan jutaan orang lainya”, Ajeng mengangkat cangkir teh seraya menghirup aromanya sebelum meneguk seperempatnya.

“Sebulan kita menikah apa kau tak bosan kita melakukan hal yang sama setiap pagi seperti ini?” Umar membenarkan punggungnya senyaman mungkin di kursi rotan itu untuk mencoba menikmati seperti apa yang Ajeng nikmati.

“Mar, keputusan kita pindah ke Jakarta dan pindah kesini adalah tepat “, pandangan Ajeng kini beralih ke arah Umar, “Aku suka tempat ini dan akan aku lakukan sampai lima puluh tahun lagi”

“Tapi tentunya dengan satu syarat”, Ajeng melanjutkan, “Aku ingin merasakan ini semua bersamamu di kursi ini”

Umar tersenyum dan merasakan kesungguhan dari cahaya wajah Ajeng, beberapa tahun kemudian Umar membeli hampir semua bangunan yang telihat dari teras rumahnya, hanya untuk satu tujuan : Agar Ajeng dapat terus mendengarkan musik indah itu.

16 Agustus 1982

Di Pagi yang diramaikan dengan ayam yang ikut bernyanyi dan gerimis hujan yang ikut mengiringi , dua sejoli sudah duduk menikmati nyanyian dengan secangkir kopi dan teh.

“Hebat kamu !”, tegukan kopi pertama membuka pembicaraan.

“Aku? Hebat Kenapa?” Ajeng meraba meja bundar itu untuk menggapai cangkir teh tanpa mau melepas pandanganya dari jajaran pohon bamboo di depan rumahnya.

“Hari ini dua puluh tahun pernikahan kita dan kamu menepatinya, kamu benar-benar mencintai tempat dan suasana ini”, sambung Umar.

“Satu hal yang benar-benar aku makin mencintai suasana ini adalah karena kamu”, jawab Ajeng, “ Kamu melangkapi semuanya, tidak ada keraguan untuk melakukanya tiga puluh tahun lagi”.

“Aku Janji..”

“Untuk??”

Umar menolah ke arah Ajeng yang masih terpaku memandang pemandangan di depanya seraya menggenggam tanganya

“Aku janji untuk menemani sisa kita, menikmati ini semua….. tiga puluh tahun kan?”

Mata Ajeng berbinar dan tersenyum sipul, tidak menjawab namun sinar matanya yang menjawab itu semua.

3 Februari 1983

Pagi itu tidak seperti biasanya, meja dan kursi rotan serta sepasang cangkir itu tidak ditemani sejoli yang bercengkrama. Tidak ada yang duduk disana hingga keesokan harinya, hanya Umar sendiri yang duduk menikmati kopi dan nyanyian alam dengan kursi kosong dan secangkir teh yang tak pernah habis.

16 Agustus 2012

Wajah keriput Umar masih masih setia menemani matahari yang semakin meninggi, semakin tinggi dan semakin ramai dengan hiruk pikuk kendaraan yang berlalu lalang di depan rumahnya. Tidak ada nyanyian seperti lima puluh tahun lalu, tapi Umar hafal betul nyanyian itu dan tetap merasakanya hingga saat ini dan menyanyikanya sendiri, dalam hati.

Air mata menetes ketika Umar mengingat betapa teriris perasaanya ketika harus melepas tanah di depan rumahnya kepada kontraktor, saldo nol rupiah yang menjadi alasan utama saat itu, “Ajeng  … Ajeng… maafkan aku”, ucapan dalam hatinya ketika mengingat hal pahit itu.

Kemeja abu-abu dan celana panjang itu adalah baju terbaiknya saat ini, penampilanya sangat rapi seperti lima puluh tahun lalu, begitu pula perasaanya seaakan kembali ke masa itu.

Umar menoleh ke meja kosong disampingnya,

”Aku sudah mempersiapkan ini sejak lima puluh tahun lalu”, suasana yang terpecah dari keheningan “umurku sekarang 78 tahun. kalau kau ikut serta umurmu 73 tahun”, seraya Umar meneguk kembali kopi nya.

“Satu hal yang aku yakini, kita tidak hanya menyaksikan ini lima puluh tahun saja tapi…. selamanya”

Keramaian di dedpan rumah Umar seperti semut-semut yang berlalu lalang begitu saja tanpa hirauan atau tolehan sedikirpun ku beranda rumah ini.

“Aku berjani karena aku yakin, Ajeng…….  inilah saatnya….. kita akan tetap menikmati ini selamnya”, Umar menghabiskan seluruh kopi di gelasnya dan berdiri seraya menghirup panjang udara yang sama sekali tidak segar.

Dengan langkah yang tergopoh-gopoh, Umar masuk kembali ke dalam rumahnya, meninggalkan beranda rumahnya yang sudah disinari matahari yang mulai terik, diracuni asap-asap mobil yang pekat, dan dinodai suara-suara keramaian.

Langkah demi langkah Umar menuju ruang tidurnya melewati frame foto, bunga plastik, kursi, tv, dan benda lainya yang sama sekali tidak tergantikan sejak tiga puluh tahun lalu. Jangankan tergantikan, berubah posisi seinci pun nampaknya tidak.

Suara pintu kamarnya mulai terbuka, dan kali ini ini dia terpaku begitu lama. Menatap botol-botol dengan isi berwarna-warni dan buku-buku yang menumpuk. Di sudut lain, blackboard tua penuh dengan berbagai macam angka dan tulisan dengan kapur putih yang memudar, entah berapa lama blackboard itu tidak dibersihkan.

Pandanganya yang mulai buram meengalihkan pandanganya ke atas ranjang yang sangat rapi. Dihiasi seprai bercorak bunga yang klasik dengan kayu jati kokoh yang masih kuat menopang kasur bulu angsa. Di atasnya terdapat sosok wanita dengan gaun sederhana, namun mewah dengan renda-renda bercorak klasik di tepinya. Wajahnya menghitam dan mengering oleh obat-obatan yang telah membekukanya. Dari bentuk dan sudut wajahnya, itulah wanita yang biasa dipanggil Ajeng. Wanita yang selalu meneguk secangkir teh untuk menemani suaminya dipagi hari.

Umar duduk di samping Ajeng yang mengeras, menatap begitu lama wajah istrinya yang tidak menyahut ucapan selamat pagi umar setiap ia bangun ataupun cerita-cerita Umar di malam hari.

“Aku sangat mencintaimu, inilah janjiku, Ajeng….  aku menepatinya kan?” seraya menoleh kesampingnya seperti menunggu jawaban dari Ajeng.

Tangan Umar menggapai gelas kaleng berisi air berwarna dan ia meneguk sedikit, ia memposisikan bantalnya sebaik mungkin dan tidur di samping Ajeng dengan lelap. Wajahnya tersenyum, seperti bermimpi indah yang menyambut tidurnya.

17 Agustus 2012

Ramainya orang berlalu-lalang menyambut hari libur nasional, sepeda-sepeda penuh hiasan melewati rumah tua itu. Matahari pagi yang masuk ke beranda rumah menyinari meja rotan dengan dua cangkir di atasnya yang tidak menikmati kebahagiaan orang di luar sana. Dua kursi rotan kosong, hingga matahari meninggi bahkan tiap matahari pagi menyambut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *