Turis

Aku  menyapu kursi empuk ini dengan jari-jariku, menghapus debu debu yang ada karena sugestiku. Sebentar lagi pesawat ini akan pergi meninggalkan negeri ini. Sesekali aku melihat ke arah jam rolex ku berharap-harap cemas, sepuluh menit yang menegangkan dalam hidupku. Aku melihat ke luar jendela beberapa orang berseragam mondar mandir seakan-akan mencariku, padahal mereka tersibukan dengan pekerjaannya.

Wajahku sebisa mungkin kubuat normal, seperti orang-orang lainya yang akan melancong ke luar negeri, “Aku adalah turis yang akan berwisata ke Singapura,” sugestiku dalam hati, agar aku benar-benar seperti seorang pelancong.

“Namaku Budi Haryono, seorang pengusaha kayu dan batu bara,” sugesti lainya dalam hatiku, aku tidak ingin salah ucap yang membuat petaka dalam hidupku, “namaku Budi…. Budi… Budi.. ”

Roda pesawat mulai berputar. Aku tidak akan benar-benar tenang sebelum pesawat ini melayang. Aku menarik nafas dalam-dalam, memenuhi paru-paruku lalu mengeluarkannya kembali, “aku sudah lega”.

Pramugari yang cantik mondar-mandir melewatiku, tidak menghiraukan, atau mungkin tidak sadar, namaku yang masuk di headline surat kabar hari ini. Tentunya bukan Budi Haryono, namaku yang baru. Aku memesan beberapa minuman untuk menenangkanku dan lalu terlelap untuk beberapa jam.

***

Langit di tanah Singapura begitu terik, kulit sawo matangku sepertinya akan mengelupas. Aku menatap jauh ke langit tak berujung itu, ke sebelah selatan dimana apartemen mewahku menghadap, “Apa kabar tanah airku?”

Mataku sudahku sipitkan sedemikian rupa untuk melihat tanah di selatan sana, yang kulihat hanya deretan toko mewah yang akan kudatangi pada hari ini, esok, lusa, dan hari-hari setelahnya. Kulihat banyak kartuku dan uang dolar Singapura yang menyesakkan dompetku, semua dengan identitas dengan nama baruku, Budi Haryono. Aku berjalan ke bawah, dan berbelanja banyak untuk memberi ruang sedikit saja di dompetku. Sungguh leganya aku, di sini tidak ada nama lamaku disebut sebut dan dicari oleh banyak orang. Sepertinya semua orang di sini acuh dengan kehidupan mereka sendiri. Aku kembali pada pukul delapan malam dengan jinjingan belanjaan di kedua tanganku.

Apartemenku beberapa blok saja dari jalan ini, aku masih memperhatikan dua orang yang sepertinya mengikutiku dari toko terakhir yang kukunjungi. Aku mengenal dari perawakan mereka bahwa mereka adalah sebangsaku. Badanku mulai gelisah dan kakiku mulai dipercepat untuk sampai di apartemen mewahku, namun orang itu melakukan yang sama.

Jarak kami hanya sepuluh meter saja, dan aku dengan sigap memencet tombol lift agar segera tertutup. Hampir saja mereka menahannya, namun lift ini sudah tertutup dan meluncur ke atas, hampir saja.

Pukul sembilan malam, aku sedang menenangkan diri dengan apa yang terjadi sebelumnya, aku berdiri mondar-mandir di apartemenku, dengan lampu  yang sengaja kuredupkan.

“Tok… tok… tok…,” suara ketukan di pintu kamarku tidak henti berbunyi. Badanku mulai berkeringat dengan gemetar aku membuka pintu kamarku.

“Selamat malam Pak Anwar, kami dari badan intelijen”, suara berat dari dua orang yang mengikutiku sejak tadi sudah berdiri di depan pintuku, “Mari masuk !,” Ujarku dengan sikap senormal mungkin.

Aku duduk berhadapan dengan mereka, dua lawan satu.

“Bisakah sekarang kita mulai?”

                      ****

Hari ini sama seperti hari sebelumnya, sangat cerah!

Aku berjalan  di trotoar ini dan masuk dari toko ke toko, inilah kegiatanku hingga akhir hayatku.

Aku membuka isi dompetku.

“Hmmm…. hanya berkurang sedikit”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *