Ini bukanlah great invasion. Bukan pula seperti perjalanan besar pengungsi Syiria ke Eropa, atau juga, long march tentara Siliwangi ke Yogyakarta. Ini cuma pertandingan sepakbola yang punya kisah. Sekelumit kisah antara sepakbola, suporter, dan rival.
18 Oktober 2015, Sejak pagi hari, saya sudah berada di tengah kota Bandung, dari jalan Sulanjana ke Supratman lalu, rencananya, akan menuju Jakarta dengan kendaraan roda empat. Dari kiri kanan jalan sudah banyak orang-orang berbaju biru. Mereka berdatangan dari segala penjuru. Tidak saling mengenal tapi satu kebanggaan — Persib.
Invasi bisanya perjalanan panjang penuh risiko. Meninggalkan tempat tinggal untuk memperjuangkan satu hal. Rakyat Syria mencari harapan baru, tentara Siliwangi memperjuangkan kemerdekaan, dan bobotoh memperjuangkan kebanggaan yang masih abstraksi.
Risikonya bukan rahasia umum, rivalitas pendukung Persib-Persija masih berada di situasi yang kompleks, hingga tidak ada satu pun gaung damai yang terdengar. Rasanya dalam perjalanan tiga jam Bandung-Jakarta selalu ada detik-detik yang tidak bisa membuat mata terus terjaga : waswas.
Kebanggaan yang masih abstrak dan sukar untuk dijelaskan itulah yang membuat orang-orang datang penuh risiko ke kandang musuh. Kami membawa kebanggaan itu seakan-akan nyawa bukanlah perkara utama.
Dan invasi ini berbuah manis : setelah hampir dua puluh tahun Stadion GBK (dulu Senayan) kembali biru.
Leave a Reply