Tumini

Perempuan-perempuan berkebaya lusuh tanpa alas kaki berada dalam kegelapan.

Wajahnya yang kusam tanpa gincu diselimuti sinar bulan yang meratap.

Mereka  menari-nari diantara cahaya remang obor-obor kecil, membuat payudara ‘tanpa entrok’ mereka berayun-ayun.

Diiringi gamelam, mendayu-dayu gemulai, yang menjadi latar keheningan hutan belantara, mereka menari dan menari seperti menggila hingga larut.

“Ayo lanjutkan, mari lanjutkan,” seorang serdadu menggoyangkan pinggulnya yang kaku.

Tumini, salah satu dari perempuan yang menari, mendekati prajurit itu. Lalu mellingkar leher prajurit itu dengan selendangnya seraya menggoyangkan pinggulnya, “seperti begini mas?,” gumanya. Tubuh mereka erat bercampur sampai gerakan mereka seirama, wajahnya nakal walau terbatas.

Hari semakin larut, bau obor, keringat, dan arak bercampur menjadi aroma menggairahkan. Mereka menari ria, seperti menyambah berhala yang tak nampak.

Serdadu-serdadu bersinergi dengan wanita-wanita berkebaya. Mereka tak saling mengenal, namun saling menumpakah cinta.
Desahan Tumini adalah tangga nada yang mencuar, lembut sekali. Sama seperti Tumini lainya. Hewan-hewan liar menatap tajam pasanganya, mata tak lepas lainya bertindak.

Suara letupan : satu.
Suara letupan, lebih keras : dua.
Suara letupan, lebih banyak : tiga.
Suara letupan, lebih banyak dan lebih keras : empat.

Hingga hitungan selanjutnya, makin banyak suara letupan, lebih keras, dan membubarkan insan-insan pemuja bersebar.
Semua panik, serdadu-serdadu berlindung dan mencari senjata mereka.
Semua panik, perempuan-perempuan mencari perlindungan.

Langit memerah, warna-warni oleh letupan granat, peluru, dan martil.
Darah mengalir bak sungai yang bah.

Tumini berlari di antara pohon-pohon yang marah. Masuk ke dalam hutan untuk berlindung.

Tumini mencari Tuhan untuk berlindung, zat yang ia hiraukan sebelumnya.

Tumini ingat ibu-bapaknya yang memukulnya karena enggan mengaji.

Tumini masih berlari dan berlari sembari menangis terisak-isak.

Londo-londo melihat Tumini, letupan-letupan mengikuti langkahnya.

Door.. Door… Door…

Tumini sudah menjadi daging.

Gumpalan daging yang memerah bersupkan darah.

Tidak bergerak.

O, Tumini tewas oleh peluru londo.
O, Apa salah Tumini, wanita pedagang yang tak punya apa-apa.

Gincu pun tidak, Pakaian pun hanya sehelai, rumah pun tak punya.
O, Apa salah Tumini.

Londo-londo berburu dengan buas.

Malam itu mereka dapat banyak buruan.

Mereka berpesta untuk merayakanya, bersama Tumini lainya.

Jakarta, 20 Oktober 2013

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *