Jodi Bieber, seorang fotografer dari tanah Afrika, mendapatkan perhatian khalayak ketika memotret Bibi Aisha, yang juga menjadi cover Majalah Time pada Bulan Maret 2010. Bibi Aisha tidak sepantasnya cocok bercokol di Majalah populer tersebut karena ia tidak berhidung — dipotong dengan sengaja oleh suaminya — dan berparas biasa saja, namun Jodi Bieber paham benar untuk mengangkat kisah ini menjadi perhatian khalayak. Efeknya, karena mendapatkan perhatian dunia, Bibi Aisha mendapatkan operasi plastik gratis pada tahun 2012. Hal tersebut hanya berawal dari sebuah foto.
Kekerasan di Afganistan sudah menjadi biasa, terutama bagi kaum perempuan, namun hal biasa ini bisa diangkat menjadi outstanding dengan cara yang tepat. Jodi Bieber sudah membuktikannya dengan memberikan sebuah foto yang mempengaruhi siapa pun yang melihatnya. Mereka, orang yang melihat fotonya, akan memproses sebuah ceritanya masing-masing tentang Bibi Aisha.
Menyampaikan sebuah pesan dengan cara yang berbeda tidak hanya dalam dunia fotografi, namun banyak pula dalam materi perfilman, Christoper Nolan misalnya. Namun saya tidak akan membahas tentang beliau, karena karyanya sudah terlalu kadung terkenal. Saya akan mencoba menyampaikan sebuah film yang merupakan ide klasik namun disuguhkan dengan cara yang tidak biasa, yaitu Contracted. Sebuah film karya Eric England.
Sudah puluhan film zombie yang sudah saya tonton, namun hanya beberapa yang saya suka, diantarnya : Night of Living Dead, Shaun of Dead, Dawn of Dead, World War Z, I am Lagend, 28 Days/Weeks Later, Zombie Land, dan [rec]. Sisanya dipastikan mempunyai plot yang serupa dengan film yang saya sebutkan. Alasan utama saya menyukai film tersebut karena mereka merupakan film yang mempunyai ide segar dan cenderung menjadi pelopor.
Kembali ke Film Contracted, di Film ini anda tidak akan pernah menyadari bahwa ini adalah kisah zombie hingga menit terakhir, alasannya karena sejak awal penonton digiring untuk menyangka pemeran utama, Samantha (Najara Townsend), mengidap penyakit seksual. Terlebih-lebih kebanyakan plot menceritakan transformasi penyakit Samantha dalam tiga hari setelah melakukan hubungan seks dengan pria misterius.
Hal yang paling menarik adalah ketika Samantha menjadi zombie, saat itulah film berakhir. Bisa dibilang film ini adalah cerita zombie sebelum cerita zombie itu dimulai. Menurut saya ini adalah ide yang brilian dari Eric England untuk menyampaikan cerita yang segar tentang zombie, sejujurnya penonton kini sudah jenuh dengan kisah zombie kebanyakan : serangan zombie – bertahan hidup dengan senjata.
Namun tidak ada hal yang terlalu sempurna, karena film ini masih punya sedikit kekurangan, setidaknya itu menurut saya. Saat-saat awal film dimulai, saya sudah agak kecewa karena dialog yang terlalu kaku, mirip film indie kacangan. Ditambah lagi, pemeran utama, Samantha, yang terlalu ‘biasa’ dan sudah kadung kurus sejak awal — mirip orang kesakitan, tidak begitu terasa ketika transformasi virus menyebar. Bagi orang yang bosanan, mereka akan tidur pada awal-awal film.
Kekurangan tersebut akan menjadi masalah apabila film digarap oleh Christoper Nolan, tapi bukan untuk Eric England. Ternyata Eric England bukanlah sebuah director kakap. Pemuda 26 tahun ini (Lahir 23 Februari 1988) tidak memiliki portofolio yang gemilap, tercatat hanya empat film saja dalam catatan IMDB, itu pun hanya memiliki rating biasa-biasa saja — rata-rata film memiliki rating lima dari sepuluh.
Nah.. walaupun film ini tidak begitu dilirik, tapi saya sangat apresiasi terutama pada sang director sekaligus writer, Eric England. Harapan saya akan ada film kedua yang memulai ceritanya, agar tidak diam di titik nol. Tapi jangan terlalu panjang, nanti malah membosankan jadinya, seperti Resident Evil atau [rec].
Leave a Reply