Sepulang sekolah, diatap sekolah. Setinggi sekitar lima lantai. Sekitar tiga detik untuk terjun sampai memeluk beton dibawah sana.
Air mata yang habis dikuras. Sel-sel otak lapuk yang tak mampu berfikir. Sepatu hanya sekitar dua mili untuk tidak menginjak apapun. Badan yang lunglai ini tiada daya diterpa angin.
Dan terjun bebas.
Tiga detik itu ternyata tidak secepat itu.
Tinggi sudah kebencian terhadap Mas Agung yang mengabaikan dan hilang entah kemana.
Kuteriak atas perundungan dari orang dibangku belakang, samping, depan, dan tak tahu siapa lagi yang mengabai kanku.
Lepas semua tekanan atas semua masalah-masalah ini: aku yang tak pandai, tak punya uang, tak punya segalanya.
Angin lalu menerpa wajahku.
Menutup mataku.
Dalam gelap itu, kulihat ibuku memunggungiku.
Memasak, dengan kualinya.
Nampak ayahku berkeringat, diatas motor bebek tua kusamnya.
Adikku yang sedang duduk menunggu warung yang sengaja dibuat di halaman rumahku.
Kulihat diriku sendiri, tersenyum bahagia memeluk mereka.
Kuingin kembali ke tiga detik lalu.
Untuk berjalan mundur, tak akan bergerak semili pun kedepan.
Leave a Reply