Sebelum membaca buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe karya Haryoto Kunto pasti tidak ada yang mengira bahwa bandung adalah tempat pembuangan yang keji pada abad ke-18. Pada masa itu, penyakit malaria yang belum ditemukan obatnya, menyerang wilayah Bandung yang dipenuhi rawa-rawa. Puluhan tahun setelahnya, tidak ada yang mengira pula, ketika Herman Willem Daendels menancapkan sebuah tongkat di Jalan Raya Pos untuk membangun sebuah kota baru, pada saat itu adalah momen awal yang akan memberikan kenangan indah bagi jutaan orang yang akan hidup setelahnya.
Ah, mungkin saja kita berlebihan karena Bandung sudah tak seindah dulu, alamnya pun sekarang sudah rusak. Tapi perasaan ini berbeda, bukan masalah kota atau sebuah daratan geografis bernamakan Bandung atau sebuah keyword yang merujuk pada halaman wikipedia bahwa Bandung adalah ibu kota provinsi Jawa Barat. Pasti anda-anda, urang Bandung, bisa merasakan demikian, bahwa bandung itu bukanlah kata benda seperti itu, melainkan sebuah kata sifat yang artinya mirip dengan kata ‘jatuh cinta’. Itu kenapa orang-orang Bandung, lebih khususnya orang Sunda, bukanlah kaum perantau seperti orang minang. Orang-orang ini adalah orang yang selalu ingin mencium tanah ini bagaimanapun kondisinya.
Sebuah kecintaan diperlakukan berbeda-beda tergantung orangnya. Sebagian orang terkadang mengekspresikan dengan cara yang berlebihan, seperti beberapa hal masalah kota ini. iya benar, mereka yang merusak kota ini tidak benar-benar membencinya, saya percaya itu, bahwa mereka mengekspresikan dengan cara yang belum tepat. Tapi seiring dengan berjalanya waktu, Warga Bandung akan bertemu saat-saat dimana warganya yang lebih dewasa dan mengekspresikan kecintaanya dengan cara yang lebih baik. Diluar itu semua, sebuah kelompok musik idealis yang lahir di Bandung, mengekspresikanya dengan cara yang elegan. Namanya Mocca.
Mocca, sudah saya dengar sejak SMP dan langsung jatuh cinta dalam alunan pertama. Musiknya unik dan outlier dari kategori musik populer. Apabila ia menempatkan diri jauh sendiri dari lingkaran itu, barang tentu merekan berkarya bukan untuk popularitas dan uang. Mereka menggerakan alunan mereka dari hati, dan Bandung yang mengajari mereka. Mocca bukan satu-satunya yang melakukan demikian, tapi banyak musisi lain yang membuat ide orang Bandung memiliki varians yang tinggi dari rata-rata pattern yang populer.
Hingga saat ini mereka membuat sebuah lagi berjudul Bandung, yang tidak akan booming dan mendapatkan keuntungan besar. Karena lagu ini seperti sebuah rumusan yang hanya akan dimengerti bagi mereka yang sudah pernah tinggal di Bandung. Pasarnya dikit dan spesifik. Tapi saya bisa merasakan bahwa setiap alunan didalamnya diilhami ketulusan akan kecintaanya kepada Bandung. Bukan masalah irama atau lirik yang bagus, tapi sebuah roh yang yang hidup di lagu ini. Bagi kamu, terutama yang sedang jauh dari tanah Bandung, cobalah dengarkan lagu ini. Jangan malu untuk menggali kenangan-kenangan indah di Bandung.
Semangat ini, dari sebuah kata ‘Bandung’, bisa semua menjadi pemacu bagi semua manusianya untuk hidup udunan, seperti yang sering dikemukakan oleh Ridwan Kamil, Walikota Bandung. Maksudnya, tanah yang sudah tidak seindah dulu ini, dengan manusianya yang unik dan out of the box sama-sama dengan caranya masing-masing membangun kembali sebuah kota idaman, tentunya kali ini dengan cara yang baik. Kita semua tidak ingin, bukan, melihat kota ini kembali menjadi tempat pengasingan yang mematikan ? Lebih baik mengembalikan sebuah pernyataan jujur bahwa Bandung adalah Parijs van Java, bukan slogan atau nama sebuah Mall tapi demikianlah sebenar-benarnya.
Leave a Reply