Pria itu sangat foedal. Kolot.
Dulu, ketika badanya sehat benar, kadang emosinya tidak menentu. Tapi ada satu hal yang akan aku ingat : ia tidak pernah memarahiku.
Satu minggu sebelumnya, ketika pria itu makin sakit-sakitan, aku menulis beberapa bait di rumah sakit, begini isinya :
Jadi tua itu mengesalkan : Badan sakit-sakitan, kulit keriput, daya ingat payah.
Apalagi apabila tingkah laku sudah seperti kanak-kanak : ngompol dicelana, menangis dan meracau karena hal sepele.
Anak kecil sih lucu, nah ini.
Jadi tua itu jadi beban anak-anaknya, diomeli tiap saat.
Sampai anak-anaknya bertanya, kapan kau berkalang tanah saja.
Di hati yang terdalam, si tua masih merasa.
Kidung indah tentang kasih sayang.
Pada saat anak-anaknya kecil dulu, ia tidak pernah risau.
Si anak ngompol, sakit-sakitan, dan bandel. Ia tidak pernah risau.
Pasti sedih, tapi apalah artinya.
Daya ingatnya sudah payah, apa masih ia simpan definisi itu ?
Anak-anaknya rasanya sudah pasrah benar. Ikhlas melihat orang tua itu mangkat. Padahal ia belum.
Maafkan kami, Aki, kami rindu dirimu yang kuat dan masih semangat menceritakan dongeng sebelum tidur : Sakadang Kuya jeung Monyet.
Maafkan aku, Aki. Sudah enggan berbincang denganmu ketika kau pikun benar. Ketika bau pesing menyerbak di sekitarmu. Aku menyesal karena tidak memanfaatkan detik-detik itu melihat senyummu yang tulus. Aku rindu itu.
Selamat Jalan Aki. (1936-2015)
Leave a Reply