Tahun 1926, Tan Malaka pernah menulis : “Sebanyak-banyaknya kita cuma mempunyai tukang dongeng, penjilat-penjilat raja yang menceritakan pelbagai keindahan-keindahan dan kegemilangan-kegemilangan, supaya menarik para pendengar.”
Hingga kini, kita tidak pernah bersalin akan perkara itu. Seperti dongeng, ada pendongeng, ada pula pendengar – yang terkantuk mendengar cerita yang mendayu. Bukanlah ihwal apabila pendongeng itu membual, tapi bisa jadi soal berat bagi pendengar yang turut hanyut.
Sudah bosankah kita kembali menyimak ribuan rakyat mati dengan perut berisi angan-angan? Terbujur kaku karena jantungnya tidak kuat benar menyadari kenyataan yang menghadang. Kata-kata “kamu akan mendapatkan … “ atau “lihat saja nanti semua akan membaik” seperti tercecer di halaman rumah. Tersapu oleh nyonya yang bangun lebih pagi.
Haruskah kita mengingatkan mereka yang terlanjur hanyut dengan menampar pipinya? untuk menghilangkan kantuknya dan mengelik mereka yang masih hidup, dan bangkit setelahnya.
Sangat gemar sekali rasanya aku menyebut kata “berkalang tanah” di tahun ini, Paman. Tapi benar memang kau sudah kaku dan pergi sebagai sosok ketiga di tahun ini. Selamat berjumpa dengan Tuhanmu, serta bersama mereka yang beranjak lebih dahulu.
Rest In Peace, Dave
28-06-2015
Leave a Reply