Pertengahan tahun 2000, Kota Ciamis yang terasa sangat manis dengan semua aktifitas rekreasi masyarakat berada pada alun-alun raflesia. Delman kambing, layang-layang mini, jajanan tradisional, sangat rapi dan teratur. Nyaris tidak ada sampah ataupun pengemis di sana.
Tidak seperti Kota Bandung, alun-alun dan gedung-geduga menjadi aset paling berharga bagi ciamis. Budaya lokal yang kuat, pasar tradisional, masyarakat yang ramah. Itulah kesanku waktu itu.
Aku masih duduk di kelas 6 SD waktu itu, wajah ciamis yang manis dan ramah menarikku untuk datang ke alun-alun setiap weekend. Hanya sekedar membeli majalah fantasi, bermain PS, atau bermain mesin dingdong di gedung pusaka. Banyak sekali pilihan aktifitas disana.
Gedung pusaka, tempat biasa aku bermain mesin dingdong, merupakan bioskop tua yang sudah sepi entah sudah tidak digunakan. Aku tidak berani mendekatinya karena banyak gambar film dewasa menempel di dinding-dindingnya. Aku hanya masuk di bagian samping kanan gedung yang dijadikan tempat permainan. Banyak sekali cerita yang aku dapatkan dari tempat satu ini.
2 agustus 2012, setelah 12 tahun melewati ruang waktu aku kembali ke jalan itu. Jalan dimana berdiri kokoh gedung pusaka. Pusaka sang legenda sudah berganti menjadi Ciamis Mall. Sebuah tren yang menghancurkan ramainya pasar tradisional.
Pemerintah setempat yang hanya berumur lima tahun sekali telah menghancurkan cerita tentang gedung berumur puluhan tahun. Wajah manis Ciamis telah mengusam. Gedung bersejarah sudah tak menjadi aset di kota ini.
Leave a Reply