Buku-buku itu menumpuk di ruangan sempit tiga kali enam meter. Lampu lima watt begitu redup untuk membaca dengan jelas. Aku berada disini untuk menjadi pion atas misi mereka, apalah aku ini menjadi pion ataupun bukan. Itu bukanlah hal yang penting. Kehimpitan hidup ini segaralah diakhiri dengan kemenangan. Aku telah hidup dan berbuat sesuatu, untuk kepercayaanku.
Buku –buku itu aku baca sepenuhnya, juga doktrin-doktrin hebat yang mengisi penuh tiap-tiap spasi dalam otakku. Kenapa tidak mereka saja yang melakukan misi itu? Hanya aku sebagai pion yang memang tidak ada pengaruhnya untuk hidup atau mati. Tidak ada yang menangis ketika aku mati. Hanya ibuku yang pasti. Dia yang terus mencariku yang tak pulang selama ini.
Hari itu akan segera datang, dan aku merasa siap. Siap sepenuhnya. Tidak ada ragu sedikit pun. Tidak mundur selangkah pun. Mereka sudah siap dengan racikannya, semua akomodasi telah siap. Pastilah mahal semua persiapan ini, persetan dari mana uang ini berasal karena seperti aku bilang tadi : Aku akan melakukan sesuatu dari hidupku yang abu ini.
Andai saja hidupku mapan, ibuku bisa aku bahagiakan. Mempunyai kesibukan dengan keluargaku juga waktu romantis dengan agamaku. Semuanya seimbang, terpadu menjadi sosok yang teguh. Mungkin saja aku tidak pernah terpikirkan menjadi pion yang pasti mati. Tapi itu hanya pengandaian saja.
Orang di luar sana mempunyai detak waktu yang bertambah, tidak dengan aku. Waktuku mundur hingga detik ke nol, itulah waktunya. Aku tunggu itu.
Teringat ketika aku mulai mengingat dunia ini. Ibuku tersenyum bangga padaku. Bangga karena aku sudah mulai bicara, berjalan, berlari, belajar, hingga lulus sekolah. Tidak denganku, apalah aku yang tidak bisa membalas semua senyuman itu. Ketika waktuku, apakah ibuku masih tersenyum dengan bangga?
Inilah saatnya. Keramaian itu menjadi tempatku. Seperti radar yang mengontrol semua langkahku untuk memasukinya. Dengan satu sentuhan, semuanya gelap. Waktu menunjukkan pukul nol.
Selamat tinggal ibu, berhentilah menangis.
Leave a Reply