Apa Bisa Politisasi (Bobotoh) Persib?

Sepakbola selalu menarik. Tidak hanya semata-mata tentang sebuah pertandingan, tetapi segala hal yang berkaitan dengan sepakbola patut untuk disimak. Seperti David Karen dan Robert E. Washington (2015) menulis sebuah jargon dalam salah satu bukunya ‘The games outside the games’. Mereka mengajarkan, bahkan dalam kacamata sosiologi sekalipun, sepakbola tidak hanya melulu tentang si bola bundar, tetapi yang menonton pun bisa jadi tontonan. Sudah sangat sering rasanya suporter kerap terliput melebihi pertandingan itu sendiri. Seperti kejadian pahit tahun lalu ketika salah satu suporter tewas di Bandung, nyaris pertandingan sepakbola yang rasanya menarik itu tenggelam dari pemberitaan.

Suporter sebagai salah satu markah penting dalam sebuah pertandingan sepakbola patut untuk penulis jadikan hal utama dalam tulisan ini. Terutama, dalam konteks Persib Bandung. Sebagai salah satu basis suporter terbesar di Indonesia – beberapa referensi bahkan menunjukkan terbesar di dunia, Bobotoh bisa menjadi citra dari pendukung sepakbola di Indonesia. Oleh karenanya, tulisan ini penulis rasa bukan untuk diperdebatkan hitam-putihnya, tapi kita renungan ide-idenya yang semoga bisa membuat sepakbola kita lebih baik.

Penulis melihat beberapa pihak melihat suporter sepakbola lebih menarik untuk dimanfaatkan dalam situasi tertentu, misalnya politik. Politik melihat sebuah suporter seperti lumbung jagung yang bisa mereka panen dengan cepat. Jumlahnya sangat banyak, bahkan mungkin bisa melebihi jumlah peserta kegiatan politik tertentu. Terlebih, mereka datang tanpa amplop transpor dan nasi bungkus. Hal ini menunjukkan mereka menjadi suporter bukan karena kepatuhan, tetapi kecintaan. Tidak ada pernah dalam tabiat partisan partai politik mana pun.

Oleh karena itu, politisi menganggap si lumbung emas ini perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya. Triknya bisa jadi sangat sederhana: asumsi dangkal bahwa kita akan saling menyokong orang yang mencintai apa yang kita cintai. Oleh karenanya, politisi biasanya berubah mendadak jadi pendukung salah satu tim sepakbola. Kita bisa melihat, terutama di Jawa Barat, silih berganti calon-calon  anggota legislatif yang sekonyong-konyong menggunakan jersey Persib. Kejadian paling terbaru adalah salah satu calon wakil presiden yang bercakap dia adalah seorang Bobotoh. Padahal kita sangat acuh bahwa seorang suporter sepakbola biasanya bangga akan menunjukkan keidentitasan mereka. Paling tidak, kita pernah melihat orang-orang ini duduk di stadion atau mendukung secara terang-terangan Persib Diluar masa-masa kampanye ini.

Namun, semakin pintarnya bobotoh, hal-hal seperti itu tidak akan bisa dengan mudah untuk menarik suara politik begitu saja. Cara lain, yang lebih ekstrem — atau bisa juga lebih culas — adalah dengan membuat representasi-representasi kepentingan politik dalam pusaran utama komunitas suporter mereka. Ketika politisi-politisi ini belum bisa dipercaya dengan kamuflase sebagai suporter, maka mereka membuat individu dalam lingkungan suporter melakukannya sendiri. Salah satu bukti kongkret adalah ditariknya beberapa pentolan-pentolan bobotoh dalam kepentingan politik partai tertentu.

Pentolan-pentolan ini bisa jadi diharapkan menjadi representatif organisasi dalam menyokong, atau lebih parah lagi, terjenalisir bahwa bobotoh adalah mendukung salah satu paham politik tertentu. Padahal, sangat disayangkan, sebuah kecintaan terhadap tim ini di Jawa Barat berangkat dari latar belakang yang beragam, termasuk padangan politik. Tapi, upaya ini hemat penulis adalah untuk menggoyahkan kesatuan yang diversitas itu. 

Tapi penulis merasa bobotoh, atau suporter Indonesia secara umum, harus bisa meneguhkan diri. Peneliti Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Yoga Setya Permana, pernah menulis dalam sebuah jurnal Internasional (ISEAS tahun 2017), begini salah satu kutipannya :

“Supporters’ clubs are a site where masses of ordinary people congregate, with a fanaticism which could offer lucrative political returns for politicians able to translate that passion into votes.”

Kurang lebih Yoga setuju dengan premis bahwa Suporter dijadikan alat untuk menggaet masa. Yoga melakukan penelitian dalam Pemilihan Kepala Daerah  Kota Batu pada tahun 2017 dimana ia menemukan bahwa kelompok suporter sepakbola tertentu disana tidak akan begitu mudah untuk di politisasi karena salah satu karakteristik suporter sepakbola menolak transformasi entitas politik.Penolakan ini menurut penulis adalah karena idealisme menjadi suporter di Indonesia yakni adalah ketulusan untuk menjadi penyokong. Singkatnya begini, tiada variabel lain untuk membatasi ekspresi untuk mencintai sebuah klub dan merubah pandangan-pandangan mereka. Kita punya teman, atau mungkin kita sendiri pelakunya, menahan lapar, menjual barang pribadi, atau berjalan kaki untuk menonton sebuah pertandingan secara langsung. Secara tidak langsung, loyalitas terhadap satu klub tidak akan diganggu oleh ulah satu dua orang dalam pusaran suporter untuk mengiringkan pandangan tertentu.

Sehingga, prasangka penulis bahwa upaya politisi ini jua akan mengalami kesia-siaan. Untuk menggaet masa bobotoh yang begitu banyak, tidak cukup menjadi bobotoh dadakan atau menggoda satu dua orang di pusaran bobotoh. Mereka perlu siuman bahwa diversitas adalah hal yang membangun dan menyatu padukan bobotoh. Bobotoh bukan kawanan-kawanan nasi bungkus yang bisa dengan mudah dimanfaatkan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *