“Kekerasan suporter (sepakbola) bukanlah hal baru. Sebaliknya, itu adalah masalah kuno dan historis.”
Steve Frosdick dan Peter Marsh (2005) memulai kalimat itu sebelum memaparkan secara ilmiah apa itu kekerasan suporter sepakbola dalam bukunya Football Hooliganism. Mereka melanjutkan bahwa sejak awal kemunculannya di abad ketiga-belas di Inggris, sepakbola sudah diasosiasikan dengan kekerasan. Bahkan, Finn (1994) menjelaskan bahwa sepakbola secara karakteristik mendasar adalah permainan maskulin yang menyajikan variansi kekerasan, agresif, dan kompetitif. Jadi, pada awal tulisan ini, penulis sedikit meringkas sebuah kausa bahwa kita harus percaya sepakbola terlahir sudah menjangkitkan potensi perselisihan yang dominan.
Bercermin dari buku Steve Frosdick dan Peter Marsh (2005) penulis mencoba merefleksikan kekerasan sepakbola di dunia, terutama di Eropa, dengan konteks Indonesia di masa kini. Dalam dunia akademis, permasalahan ini bisa dilihat dari berbagai sudut pandang ilmiah, namun penulis lebih cenderung pada konteks yang lebih sempit. Mengambil kasus perselisihan The Jakmania dan Viking yang mencuat belakangan ini karena kembali memakan korban jiwa, penulis beranggapan bahwa perselisihan bukan terjadi karena faktor historis belaka.
Hipotesis ini muncul karena tidak semua orang yang terlibat dalam perselisihan ini mengerti benar mengapa mereka saling membenci atau, singkatnya, tiada dalil yang membuat mereka mesti ‘berperang’. Lihat saja, pergesekan yang muncul cenderung abstrak dan tidak beralasan – yang sayangnya, hal ini terjadi terus menerus tanpa ada yang memberikan solusi efektif yang tepat.
Namun tentunya kita perlu tahu solusi kongkret seperti apa yang perlu diperhatikan. Saya kembali membuka dengan studi Steve Frosdick dan Peter Marsh (2005) sesuai dengan konteks kita saat ini. Terdapat beberapa konsep yang bisa jadi relevan dengan masalah kita saat ini terutama hal bersinggungan dengan berbagai macam pemangku kepentingan. Tulisan cenderung melihat pada sudut pandang tiga buah pihak yang dominan memberikan tanggung jawab secara langsung pada keberlangsungan suatu kegiatan sepakbola, yakni klub, panitia pelaksana, dan kepolisian. Penulis paham benar bahwa terdapat pihak lain yang mempunyai tanggung jawab yang juga besar, misal PSSI. Namun, untuk melihat peran federasi dalam permasalahan ini rasanya diperlukan tulisan lain yang lebih fokus dan komprehensif.
Pertama, adalah konsep ‘Friendly but firm policing’. Aktor utama dalam konsep ini adalah pihak yang berwenang menangani keamanan suatu kegiatan sepak bola, yakni kepolisian. Konsep ini pertama kali diterapkan di Kepolisian Belanda pada European Championship tahun 2000. Secara sederhana, konsep ini mengubah ‘gaya’ dari penjagaan yang membuat suporter menikmati pertandingan daripada merasa ‘dijaga’. Kepolisian Belanda pada saat itu mengubah penjagaan yang kaku menjadi carnival atmosphere dimana mereka sama-sama menikmati musik, minum bir, bahkan menikmati parade bintang porno bersama yang diarak keliling kota. Kita tentunya tidak perlu sejauh itu, namun setidaknya, para suporter merasa bahwa polisi dapat menjadi teman mereka.
Salah satu caranya dengan pihak kepolisian dapat bisa menjadi suporter tim mereka. Sayangnya, ribuan penjagaan berseragam yang ketat – terkadang dibumbui oleh kendaraan lapis baja untuk tim lawan, secara tidak langsung menanggap suporter sebagai potensial pelaku kriminal. Harapan dari perubahan metodologi keamanan adalah suporter dan polisi bisa sama-sama menikmati pertandingan tanpa ada yang merasa diawasi. Toh, kalau sudah berteman kita bakal merasa saling peduli dan menghormati, bukan? Contohnya, suporter tidak melakukan kriminal bukan karena takut ditangkap, tetapi menghormati kepolisian sebagai sesama penyokong tim kesayangan.
Kedua, Risk and Safety Management. Bagian ini menjadi baku dan konvensional. Namun, panitia pelaksana (panpel) harus mempunyai pedoman yang kuat untuk mengelola kerumunan, tidak hanya di dalam stadion, namun dari titik keberangkatan. Konteks ini akan sangat luas, tapi penulis memberatkan pada satu hal yaitu pengelolaan masa. Kita ketahui bahwa kebanyakan suporter di Indonesia cenderung menggunakan kendaraan sendiri – kebanyakan adalah sepeda motor – untuk datang ke stadion. Disinilah risiko kemaanan dimulai, karena dengan penonton yang datang terpisah maka titik kerumunan sulit untuk dideteksi. Mestinya, sistem transportasi menuju dan ke stadion sudah sangat jelas dikelola. Kereta, bis dan angkutan masal lainya bisa menggerakkan masa dengan teratur dan sesuai. Dari sini, penonton bisa diarahkan menuju gerbang sesuai tiket, atau titik kerumunan artifisial – hal ini panpel bisa membuat layar lebar, band musik, pertunjukan seni, stan makanan atau minuman. Sehingga penggerakan masa yang besar bisa disimulasikan dan pengawasan akan lebih mudah karena panpel akan memiliki prioritas penjagaan yang merata. Ini terlalu teknis, iya, namun ini penting dimana panitia pelaksana bukan hanya mengelola pertandingan, tapi juga mengelola masa.
Ketiga, adalah solusi langsung untuk perselisihan antara suporter, yaitu Fan Culture and Coaching. Bagian ini merupakan peran klub yang mau tidak mau harus mengelola aset mereka, yaitu fans. Suporter seperti dua sisi yang berlawanan, semakin besar suporter maka semakin besar pendapatan kapital dan non-kapital bagi sebuah klub. Namun, suporter bisa merugikan klub dengan tindak-tanduk yang mengganggu berjalanya suatu pertandingan. Sebuah klub dengan semestinya membuat divisi suporter sendiri yang membuat suatu program pengelolaan suporter, termasuk di dalamnya pembinaan suporter. Terdapat dua tahap yang penting untuk menyukseskan program ini. Hal pertama adalah klub harus tahu siapa suporter mereka. Pendekatan ini penulis lihat sudah pernah dilakukan oleh Persib dengan Kartu Member Persib. Upaya ini mestinya adalah pengumpulan data dari suporter Persib Bandung, mulai dari demografi, usia, dan jenis kelamin. Ketika tahap pertama sudah selesai, klub baru dapat membuat pemberdayaan yang tepat dan sesuai didasari oleh karakteristik suporter yang mereka miliki.
Dari ketiga dimensi tersebut, penulis menyadari bahwa karakter suporter di Indonesia bisa jadi berbeda dengan negara-negara lain, terutama hal-hal yang dipengaruhi oleh budaya dan geografis. Jadi, secara teoritis permasalahan yang sama di luar negeri belum tentu sesuai dengan konteks Indonesia. Menurut pandangan penulis, terutama kasus perseteruan The Jakmania – Viking, perselisihan ini bermuara pada kesepadanan, bukan perbedaan. Viking – The Jakmania tidak bisa dibedakan sama sekali, budaya dan adab dan tingkah laku. Kita makan – makanan yang sama, selera humor yang sama, atau – bahkan – kita pernah sama-sama menangis diam-diam menonton FTV. Sederhananya, kita sebenarnya terlalu seragam hingga kita tidak pernah sadari bahwa hakikatnya kita juga terlalu sayang satu sama lain. Cuman saja, kita masih malu pihak mana yang menunjukkan rasa cinta pertama kali, tapi kita tidak sabar untuk membalas perasaan itu dengan rangkulan perdamaian.
Referensi :
Finn, G. (1994) ‘Football violence – a societal psychological perspective’, in R. Guilianotti et al. (eds) Football, Violence and Social Identity, pp. 90–127. London: Routledge
Frosdick, S. and Marsh, P. (2005) Football Hooliganism. Devon: Willian Publishing.Tulisan saya ini dimuat lebih dulu di Simamaung.Com, silakan cek sumber berikut :
http://simamaung.com/arena-bobotoh-jalan-keluar-kekerasan-dalam-sepakbola-indonesia/
Leave a Reply