Indo-positivisme

Empat bulan di Sydney telah banyak meninggalkan kehidupan saya di Indonesia, namun tidak semena-mena meninggalkan keindonesiaan saya.  Satu hal yang tidak pernah saya tinggalkan adalah mengamati diskusi ‘warung kopi’ pada tiap malam bersama rekan satu rumah yang sama-sama orang Indonesia. Dalam diskusi itu biasanya berarah pada sebuah kebanggaan atas kemajuan Indonesia atas keberhasilan Pak Jokowi — mungkin bila dibandingkan dengan masa lalu. Sebaliknya, diskusi cenderung pada ketidakpuasan pada lawan politiknya, termasuk Jakarta yang dianggap mengalami kemunduran.

Disisi lain,  teknologi masa kini menuntut saya untuk tetap berkomunikasi dengan rekan-rekan di Indonesia dengan mudah. Cukup banyak dari teman-teman baik saya di Indonesia merasakan masalah krusial yang dialami Indonesia saat ini yang disebabkan oleh kepemimpinan Presiden kita yang bermasalah dari A hingga B. Ujung-ujungnya mereka menginginkan sebuah perubahan yang seakan-akan dapat terselesaikan apabila pemimpin diganti oleh lawan politik Jokowi.

Perkara dalam tulisan ini sudah jelas bahwa negeri kita kini terbagi dua. Sederhananya Pro Jokowi dan bukan. Masalahnya adalah hal ini membutakan teman-teman saya yang dimana apa pun yang dilakukan oleh Pak Jokowi adalah sebuah kesuksesan walaupun itu bisa saja keliru, sebaliknya bagi orang-orang yang berseberangan selalu mencari residu dalam kebaikan Presiden kita serta mengeluh atas kekurangan seperti esok Indonesia akan kiamat. Saya melihat Pak Jokowi tampak seperti dua hal oleh masyarakatnya : malaikat tanpa dosa dan pendosa yang selalu berbuat perkara.

Diumur segini saya sudah tidak percaya sepenuhnya pada seorang manusia. Tapi selalu memberikan ruang lain untuk percaya pada seseorang karena hakikatnya manusia selalu memiliki sebuah kebaikan yang dimana hal ini sulit untuk dihiraukan. Seperti seorang Setya Novanto yang telah terjenalisir sebagai seorang penjahat kakap olah sebagian kita namun kita pasti tahu ada sisi baik yang belum kita lihat. Saya sebenarnya masih tidak tahu terminologi apa yang tepat untuk menjelaskan hal ini, tapi saya selalu menyebut itu dengan diri saya sendiri sebagai positivisme.

 

Positivisme, walau secara filsafat memiliki arti yang berbeda, bagi saya adalah sebuah titik tengah agar negara ini bisa maju. Pak Ahok dan Pak Anies sama-sama memiliki keunggulan masing-masing dengan caranya masing-masing. Kekurangan tiap-tiap mereka kita tidak bisa membandingkan karena konteks dan situasi yang mereka hadapi tentunya akan berbeda. Begitu pula dengan Pak Jokowi dengan Pak Prabowo atau siapa pun lawan politiknya nanti, mereka punya kepiawaian masing-masing untuk memperbaiki bangsa ini ke arah yang lebih baik. Sekali lagi kekurangan mereka tentunya tidak akan pernah kita bandingkan secara adil dan menyeluruh.

Lalu tujuannya untuk apa tulisan ini dibuat. Saya dan rekan-rekan yang membaca tulisan ini pasti sudah bosan dan terlalu banyak energi terkonsumsi dalam beberapa tahun belakangan ini dengan opini-opini yang berputar dalam pikiran kita. Kita mengabaikan bahwa musuh kita bukanlah orang-orang kita sendiri, tapi orang-orang dan negara-negara lain yang sudah hidup makmur dan berlari untuk lebih maju dan sejahtera. Mata kita tertutup dengan penyembahan berlebihan pada seorang manusia dan prasangka buruk pada tiap kebaikan. Kita tidak ingin pernah satu saat rakyat Indonesia berlanjut terus berselisih hingga kita tidak menyadari bahwa pikiran-pikiran kita sendiri yang membuat negara ini hancur.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *