Selama menjadi mahasiswa sekitar tahun 2008-2013 saya sedang sebal-sebalnnya dengan Kota Bandung. Dengan cara menulis ala kadarnya, saya sempat mencurahkan disini.
Saya coba meluruskan sedikit tulisan tersebut. Pada saat itu, Pemerintah Kota Bandung membuat jalan khusus pesepeda di pusat kota (Dago sekitarnya). Akan tetapi pengelolaan sampah, trotoar, ruang terbuka, dan transportasi publik masih amat buruk. Padahal point-point tersebut merupakan sebagian variabel dalam budaya bersepeda. Orang bersepeda pasti menggunakan transportasi umum, tidak mungkin bawa sepeda menggunakan angkot. Orang bersepeda, akan banyak menggunakan trotoar dan ruang terbuka, bukan untuk bersepeda tetapi untuk berjalan dan beristirahat. Kalau sampah, tentunya, dengan sampah berantakan kita akan malas beraktivitas di ruang publik.
Karenanya saya menulis artikel tersebut.
Terlebih, pada saat itu Dada Rosada saya anggap sebagai generasi boomers yang tak mampu apa-apa.
Sampai akhirnya saya melihat gambar di Twitter dengan dua tokoh dengan gambar monorail sebagai background dengan tulisan Banding Monotail. Ada tagline, “Berani Mimpi, Berani Memulai”. Saat itu, saya hanya merasakan bahwa “Ini orangnya”.
Makanya saya menulis ini.
Pada awal-awal Kang Ridwan Kamil (RK) memimpin Bandung, saya mulai merasa perubahan, ada taman-taman direvitalisasi. Ada taman-taman dengan nama eye catching. Merubah desain tong sampah (walau hanya bertahan beberapa saat). Ada program yang menarik, yang saya ingat mendorong gerakan pungut sampah dan biopori. Menarik, bukan?
Bahkan dalam tulisan itu, saya mencoba membandingkan dengan pencitraan Presiden Joko Widodo. Saya merasa, pencitraan RK dengan solusi-solusi praktis lebih baik daripada terlalu banyak pencitraan tidak realistis ala Jokowi. Pikiran saya saat itu.
Saya terbuai dengan sketsa-sketsa rencana revitalisasi Bandung. Saya paling ingat, ada sebuah gambar tentang underpass Cibiru. Sebagai orang yang melewati Cibiru-Jatinangor pada saat itu, saya merasa terbuai. Saya menunggu gambar itu, hingga saat ini. Satu hal lain yang mengganjal, adalah halte bus dibangun, bantuknya menarik seperti tabung. Dibangun sepanjang jalan Surapati-Cicaheum (Suci).
Akhirnya, saya pindah ke Jakarta, sejak tahun 2015.
Saya terus mengikuti beliau. Ada satu waktu, saya menyalakan notifikasi di Instagram. Tiap-tiap ada post-an terbaru, saya salah satu orang pertama yang melihat.
Sebagai kebanyakan orang Bandung yang merantau ke Jakarta, akan pulang kampung 1-2 minggu sekali. Sulit sekali menghadapi kondisi dimana saya perlu memesan taksi online ketuka turun travel. Ayah saya terkadang perlu menjemput Ujung Berung – Dipatiukur untuk sekadar menjemput. Ketika pulang melewati jalan Suci, saya melihat onggokan halte-halte bis yang ternyata pada tahun-tahun setelahnya tidak pernah dipakai. Semua butuh proses, pikir saya.
Sampai titik dimana lima tahun berlalu, Bapak RK menjabawa sebagai Gubernur Provinsi Jawa Barat. Wewenang lebih besar, orang yang berani ‘bermimpi’ ini mestinya sudah punya kuasa lebih untuk berani ‘menyelesaikan’ bukan hanya ‘memulai’.
Saya memang tidak se-up-to-date itu mengenai Bandung. Pekerjaan semakin sibuk. Apalagi sempat hijrah ke Sydney selama tahun 2018-2020.
Saya terjerangah ketika Bapak RK meresmikan Masjid Al-Jabbar. Saya tahu benar tempat itu. Tahun 2016, beliau pernah berucap bahwa wilayah Bandung Selatan akan menjadi wilayah Technopolis. Pusat pemerintahan akan pindah ke daerah tersebut. Pusat bisnis juga. Saya lupa, bahkan beliau pernah berucap ada perusahaan asing yang sudah siap membuat kantor disana.
Di sisi lain, saya tahu juga akses ke Gede Bage itu buruk. Jalan kecil tapi padat, infrastukrut ala kadarnya. Apalagi pada tahun 2016 saya pernah nonton laga persahabatan Persib di Gede Bage. Aksesnya, melelahkan sekali. Saya buka google maps, rasa-rasanya tidak percaya. Bagaimana bisa pemerintah membangun bangunan sebesar itu dengan akses jalan masih sama. Apalagi transportasi publik.
Bahkan kalai bisa di Bandingkan, peran pengembang Summarecon lebih besar daripada Pemerintah Kota Bandung di wilayah Gede Bage. Sependapat dangkal saya.
Pada saat itu, tahun 2022. Saya menyerah berharap pada beliau. Pak Ridwan Kamil, saya berharap pada Anda selama sembilan tahun. Saya berhenti mengikuti Anda.
Beberapa teman lama saya tahu, sebagai RK fanboy, mereka meminta pendapat saya bagaimana bila RK akan berkarya di Jakarta. Kota baru saya saat ini. Saya akan panjang bercerita pada mereka. Tapi kurang lebih akan begini menjelaskannya:
Saya adalah salah satu saksi dari jutaan warga Bandung yang akan setuju kalau Bapak Ridwan Kamil adalah pemimpi hebat. Seperti gambar tiga belas tahun lalu, “Berani Bermimpi”. Ia juga mampu melakukan konsep atas mimpi-mimpinya. Banyak sekali, silakan anda cari gambar-gambar mimpi beliau. Banyak.
Tetapi, Bapak, saya rasa Anda belum dapat menjadi seorang yang mampu ‘menyelesaikan’ mimpi-mimpi Anda. Saya hanya ingin Bandung tidak macet. Bis-bis itu sudah berjalan dan terkoneksi. Iya, sekarang sudah ada BRT, tetapi belum cukup. Kondisi sekarang saya mimpikan sudah dilakukan ketika Anda menjadi Walikota.
Saya tidak peduli, dengan dinamika politik, Anda didukung siapa, dan bagaimana anda bisa meraih kursi calon Gubernur Jakarta. Saya ingin teman-teman saya tahu, itu yang saya rasakan selama ini, dan saya tidak ingin semua mimpi-mimpi yang banyak itu hanya menjadi gambar tanpa bisa realisasi.
Leave a Reply