Boleh gak sih bapak-bapak menangis?
Saya merasa selemah ini membaca berita-berita politik terkini. Kalau dulu, saya bisa mengumpat, menggunakan kata-kata kotor (walau dalam hati) melihat kondisi negara ini.
Tapi sekarang saya merasa tidak berdaya. Bukan karena diri sendiri, tapi anak-anak saya.
Saya punya dua anak. Satu kelas satu SD. Paling kecil, TK nol kecil.
Paling besar, Gendis, adalah anak perempuan paling ceria di rumah. Dia selalu bersemangat dengan hal-hal baru. Suka sekali dengan hal-hal kecil. Teliti dan orang yang selalu mempersiapkan diri.
Sejak kecil Gendis gemar mengikuti perlombaan. Kami rasa karena ia suka sekali berkompetisi.
Pada hari kemerdekaan kemarin Gendis bersemangat untuk ikut lomba hias sepeda di komplek kami. Sudah merengek untuk membelikan bahan-bahan beberapa hari sebelumnya. Gendis memutuskan membuat burung garuda besar di sepeda pink-nya. Hal ini karena ia baru tahu bahwa burung garuda lambang negara Indonesia. Ia sampai hapal jumlah bulu-bulu di sayap dan ekor.
Sedangkan di sekolah, anak gadisku ini ikut perlombaan menggambar. Pada malam hari sebelumnya ia berlatih bersama Ibunya. Gambarnya kurang lebih begini: Sekelompok anak kecil sedang balapan karung dengan ujung jalur finish sehalai pita — seperti perlombaan lari. Di sisi kanan, terpadat penonton memegang bendera merah putih.
Walaupun pada akhirnya kedua lomba itu ia tidak menang. Gendis tidak murung lama-lama. Ia sudah lama kami semangati untuk menikmati proses dalam tiap kompetisi. Lagian dia suka merayakan hari merdeka, sudah jauh dari menyenangkan.
Oh, iya, Gendis juga adalah orang yang tiap hari mengingatkan Abahnya ini untuk memasang Bendera dan tiangnya. Padahal waktu itu masih akhir Juli. Sedikit menjengkelkan, tapi kusuka itu.
Anak jagoanku yang kedua, namanya Kembara. Panggilanya Kem. Empat tahun. Paling manja sama Ibunya.
Ia awalnya hanya tahu Indonesia itu adalah tim sepakbola berwarna merah. Manchaster United pernah ia kira adalah timnas Indonesia. Suatu waktu, pernah kuajak nonton Timas di TV ketika Piala Asia dimana Indonesia melawan Irak. Ia banyak tanya seperti siapa lawan indonesia, mengapa goal keeper bisa memegang bola, siapa yang berlari-lari di sisi lapangan, kenapa ada ambulance, dan pertanyaan-pertanyaan lucu lainnya.
Saat ini, Kembara ikut ekstrakulikuler futsal di sekolahnya. Ia hanya ingin memakai baju merah. Baju Indonesia, katanya. Ibunya, bahkan pusing tujuh keliling mencari baju sepakbola warna merah untuk ukurannya.
Satu hari, kami liburan ke Malaysia. Setibanya di Bandara Kuala Lumpur, Kembara menyanyikan lagu “Indonesia Raya.. Merdeka.. Merdeka…” dalam langkah kecilnya di lorong Bandara. Kakanya dibuat malu karena itu.
Dua anakku ini, punya semangat besar melihat negeri ini. Indonesia kebangganya di dalam dada. Banyak pertanyaan pada Abahnya ini, “Berapa umur Indonesia”, “Kenapa Indonesia merah putih”, “Kenapa Indonesia cinta Palestina”, dan “Siapa Jokowi .. “
Ayah dan Ibu, sebisa mungkin menjawab pertanyaan pertanyaan itu. Tentunya mereka semakin bangga menjadi orang Indonesia.
Kembali lagi ke bagian awal. Boleh gak sih Bapak-bapak menangis?
Saya merasa, apakah layak kami sebagai orang tua memutuskan untuk punya anak? Dua anak? Di negara ini?
Saya merasa, apakah anak-anak saya bisa hidup dan terus bangga pada tanah ini? Hidup dengan nama besar di Indonesia emas 2045?
Hari kemarin, tiba-tiba saya tidak yakin. Hari kemarin semuanya terakumulasi. Saya menemukan fakta bahwa saya tidak punya keyakinan tentang masa depan negeri ini atas ketidak sewenang-wenangan segelintir pemimpin kita.
Hati saya, Bapak-bapak ini, sayu karena saya merasa cinta anak-anak saya pada Indonesia bertepuk sebelah tangan. Apakah bisa, cita-cita Gendis sebagai atlet sepatu roda tecapai? Apa bisa Kembara bisa terus bermain bola? Apakah mereka berdua bisa mencapai cita-cita mereka diatas negeri yang pemimpinnya ugal-ugalan?
Apakah saya keburu berkalang tanah tanpa tercapainya asa. Ya, Tuhan, selamatkan anak-anak kami.
Apa boleh bapak-bapak nangis?
Leave a Reply