Banyak sekali hal yang buat kita gaduh beberapa hari terakhir: terorisme, hutang negara, banjir, sampai penyebaran virus. Tapi sepertinya masyarakat Indonesia tidak pernah sepanik seperti hal terakhir. Padahal sebelumnya kita seakan tegar — atau acuh tak acuh. Setelah Presiden Jokowi mengumumkan terdapat dua orang WNI yang terjakingit Corona, ramai-ramai orang membeli masker, hand sanitizer, dan sembako. Termasuk saya beserta istri– juga si Idis yang ketiduran di stroller — kami memebeli tiga buah masker di Ace Hardware yang pada saat itu dibatasi pembeliannya. Antriannya juga panjang.
Memang kemungkinannya hanya dua: virus corona ini cepat atau lambat berlalu seperti Malaria pada 100 tahun silam, SAR, EBOLA, HIV, dan Flu Burung yang muncul beberapa tahun kebelakangan. Kemungkinan kedua adalah virus ini menyebar tanpa bisa teratasi. Rasanya hal kedua ini belum pernah terlihat kecuali dalam film-film zombie. Mestinya kita selalu optimis untuk bisa mengatas cobaan ini.
Tetapi tetap saja tidak akan semulus itu. Pekerjaan pun terhambat. perjalanan ke kantor harus dipersiapkan dengan matang. Istri saya yang dalam hitungan hari hendak melahirkan sedikit was-was karena akan mengunjungi rumah sakit umum yang berisiko penyebaran virus corona.
Namun pada sisi terdalam lain saya menikmati untuk tidak berada pada tempat umum terlalu lama. Artinya saya akan sedikit ke mall, atau hendak makan diluar. Istri dengan siaga menyiapkan bekal untuk ke kantor. Pada ujungnya pengeluaran saya bisa sedikit terkontrol.
Tidak ada rencana liburan, untuk naik pesawat. Beberapa bulan terakhir kami berencana melancong ke luar negeri, tapi kini dikubur dalam-dalam. Tuhan menciptakan mahluk Corona ini selalu beralasan. Tidak melenceng apabila banyak yang bilang virus ini untuk mengingatkan manusia agar tak jumawa; manusia tiada hebatnya – diberika virus kecil saja sudah goyah. Bukan. Tidak sejauh itu. Sang Corona ini mengingatkan saya untuk menyediakan waktu banyak dengan keluarga, dengan orang tua. Di rumah.
Leave a Reply