TKI di Jawa Barat : SDM Iptek atau Buruh ?

Hingga saat ini, Jawa Barat adalah produsen TKI terbesar di Indonesia. Terdapat sekitar 105rb-145rb TKI yang ditempatkan di luar negeri pada setiap tahunnya selama kurun waktu 2011-2014 (Pusdatin Badan Perencanaan dan Pengembangan Ketenagakerjaan – Kemenaker RI). Terlebih-lebih, empat dari sepuluh kota penyumbang TKI terbesar adalah kota-kota di Jawa Barat, seperti Indramayu, Cirebon, Cianjur, dan Karawang.

Sayangnya, hal itu tidak sepantasnya disebut prestasi. Sebabnya karena kebanyakan outflow TKI Jawa Barat adalah tenaga kerja tidak terampil yang bekerja di sektor informal dengan minim kompetensi. Sederhananya, mereka adalah buruh atau – derajat paling tinggi – adalah  operator.

Kenyataanya Pemerintah selalu dihadapkan dengan hal dilematis seperti ini, karena remitansi dari TKI turut serta menggerakan perekonomian di Jawa Barat. Jumlah remitansi Jawa Barat yang tercatat oleh BNP2TKI Sebanyak  Rp 15,3 Miliyar Rupiah pada tahun 2014. Sehingga Pemerintah sewajarnya akan ragu untuk membatasi TKI nya ke luar negeri.

Salah satu hal yang menenggarai banyaknya TKI tidak terampil di Jawa Barat adalah karena suplai SDM Iptek di Jawa Barat sangat minim. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2015 menunjukan bahwa Angka Partisipasi Kasar (APK) Jawa Barat untuk perguruan tinggi hanya 17.76%. Angka ini merepresentasikan bahwa sebagian besar usia 19-24 tahun di Jawa Barat tidak mengenyam pendidikan tinggi.  Itu belum dihitung dengan kualitas  SDM Iptek yang dihasilkan. Lalu hanya berapa besar SDM Iptek Jawa Barat yang benar-benar berkualitas dan siap berkompetisi? Dugaan penulis akan sangat jauh lebih kecil.

Masalah lainya adalah jumlah lapangan pekerjaan yang tidak mampu menyerap tenaga kerja, baik SDM Iptek ataupun tidak. Sejalan dengan hal itu, jumlah lapangan pekerjaan-pun tidak merata, hanya terpusat di beberapa kota, terutama yang menjadi sentra industri. Belum lagi, standar upah yang tidak memenuhi standar hidup layak. Hal-hal itu bisa jadi faktor  banyaknya warga Jawa Barat yang menjadi TKI di luar negeri dengan minim kompetensi.

Tergerus oleh Global Market

Tantangan mobilitas tenaga kerja kini makin terbuka lebar dalam Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Namun MEA hanya memfasilitasi SDM yang tertuang dalam Mutual Recognition Arrengement (MRA), yaitu sektor-sektor bidang jasa dalam keinsinyuran, arsitektur, keperawatan, dokter, dokter gigi, surveyor, akuntansi, dan keparawisataan. Setiap profesi tersebut dituntut lolos kualifikasi yang ditentukan oleh asosiasi bidang keilmuan masing-masing. Singkatnya, ASEAN hanya mendukung mobilitas tenaga kerja terampil dan SDM Iptek, bukan tenaga kerja informal — seperti Jawa Barat mayoritas kontribusikan.

Selain mengikuti skema MEA, kecenderungan arus SDM Iptek di Negara maju adalah mengacu pada global market. Artinya setiap ada demand tinggi di satu sektor tertentu, dapat menarik pasar tenaga kerja, baik dari Negara tersebut ataupun tidak. Singapura misalnya, kebutuhan SDM Iptek yang tinggi disana membuka peluang bagi SDM Iptek di banyak negara, termasuk Indonesia. Namun mereka tidak merasa khawatir dengan banyaknya Tenaga Kerja Asing (TKA) yang masuk, karena suplai SDM Iptek mereka sudah sangat baik karena disokong oleh infrastruktur dan sistem  pendidikan yang memadai.

Pekerjaan berat bagi semua elemen di Jawa Barat untuk dapat mencapai kestabilan ketenagakerjaan seperti di negara maju.  Ada dua dimensi kebijakan yang dapat diambil, yaitu mengurangi outflow TKI dan meningkatkan kompetensi TKI. Tapi secara umum kedua dimensi itu dapat diupayakan dalam tiga hal. Pertama adalah membangun infrastruktur dan sistem pendidikan yang berkualitas dan merata di seluruh wilayah Jawa Barat. Peningkatan angka APK yang rendah mestinya menjadi perhatian khusus bagi pemerintahan Jawa Barat untuk dibenahi,  sehingga suplai SDM Iptek dengan kualitas baik  sudah mutlak harus diperbaiki dan didorong untuk meningkat jumlahnya di masa depan.  

Salah satu masalah utama ketenagakerjaan Jawa Barat saat ini adalah lapangan pekerjaan tidak mampu menyerap SDM Jawa Barat. Penyebabnya karena stok SDM belum siap atau tidak memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan. Karenanya yang kedua adalah peningkatan kompetensi stok tenaga kerja yang sudah berada dalam pasar tenaga kerja. Kompetensi Stok  tenaga kerja low-skilled dapat ditingkatkan melalui pelatihan keahlian kompetensi di tiap tiap daerah, sedangkan SDM Iptek  bisa diberikan beasiswa lanjutan agar lebih matang dan siap bekerja.

Ketiga adalah upgrading TKI yang sudah dan akan ke luar negeri dengan cara mengalihkan TKI informal ke formal atau professional. Caranya bisa jadi dengan monitoring berkala serta pembekalan penguatan kompetensi pada TKI di luar negeri. Dengan meningkatknya jumlah TKI formal yang memiliki kompetensi, TKI Indonesia akan semakin siap berkompetensi di luar negeri. PRT, buruh, dan operator akan semakin berkurang dan digantikan dengan SDM Iptek.

Ketiga hal itu menurut pandangan penulis adalah hal-hal yang berhubungan satu dengan lainya, yakni memperbaiki kualitas ketenagakerjaan Jawa Barat, terutama TKI,  dari hulu (suplai) dan hilir (kebutuhan).  Seperti yang telah dilakukan oleh banyak kebijakan wilayah-wilayah dinegara maju : kita jangan terlalu aparanoid dengan outflow tenaga kerja, tapi kita tetap terbuka dan mengejar ketertinggalan. Agar tidak tergerus global market.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *