Menjulang tinggi menembus langit Banda. Seperti benteng yang melindungi landainya Banda Naira. Sejak dulu dilukiskan memuntahkan api yang panas oleh Louis Le Breton. Kapal-kapal pengangkut rempah-rempah dari dan menuju penjuru dunia.
Gunung Api Banda diselimuti sejarah panjang Banda Naira. Sudah beberapa kali meletus, Gunung Api Banda adalah saksi sejarah berkembangnya banda sejak abad ke-15. Lokasi yang dapat menengok dengan jelas semua pulau di kepulauan Banda : Banda Naira, Banda Besar, Hatta, Run, Ai, serta pulau-pulau kecil lainya.
Tidak terlalu tinggi memang, sekitar 640 mdpl. tapi belum tentu lebih mudah dari gunung-gunung lainnya. Itu yang saya kira sebelumnya : cuma 600 toh, paling pergi subuh pulang siang juga sudah bisa. Ternyata saya salah. Mari saya ceritakan dari awal.
Ingin Naik Gunung Banda
Banda Naira adalah tempat yang lengkap. Naik Gunung dan Menyelam dalam satu tempat. Ketika berenang dan snorkling Gunung Api Banda selalu menjadi perhatian. Sayangnya tidak ada paket tour yang dengan sengaja dipersiapkan untuk menaiki Gunung Api Banda. Karena mungkin Banda Naira lebih menarik apabila bicara masalah laut dan sejarah, bukan Gunung.
Tapi tetap saja saya ingin mencoba menaiki Gunung Banda. Alasannya sederhana : dengan berdiri di puncak tertinggi Banda Naira, kita bisa meliat seberapa indah Banda dari langit.
Bertemu Yanto
Dimalam pertama di Banda Naira, 12 November 2016, pukul 18.00 WITA, saya dan istri sengaja berkeliling pasar Banda lalu berakhir untuk minum di Spicy Island. Disana kami sempat bertemu anak Jakarta yang bekerja disana, Galu dan Wisnu. Mereka bilang kalau melihat bulan di bandara sangat indah. Tentunya, kami tertarik lalu menuju kesana.
Dalam perjalanan menuju Bandara, kami terjebak pembicaraan dengan penduduk lokal. Disana ada Yanto, pemuda 21 tahun asli Banda, sedang ikut menguping. Ia dengan sigap bersedia esok-esok untuk mengantar kami ke puncak. Ia sudah tiga kali ke sana, pertama kali waktu ia SD.
Cara ke Gunung Api Banda
Dari dermaga kecil dekat pasar Banda Naira, kami menyeberang menggunakan kapal kecil. Harganya cuma Rp 2,000 per orang. Disana kita bisa langsung menemui dermaga kecil lainya. Kita sudah akan sampai di jalur pertama Gunung Api Banda. Totalnya ada sekitar 4-5 pos, tapi hanya satu pos yang tersedia dan masih berdiri kokoh.
Dimulailah pendakian kami. Saya dan istri menggunakan pakaian hiking lengkap bersama sepatu gunung ; dan Yanto menggunakan sendal jeput dan celana pendek. Sekali lagi, Ia mendaki gunung itu dengan sendal jepit.
Trek yang Tidak Manusiawi
Seperti apa yang disinggung sebelumnya, gunung yang tidak begitu tinggi belum tentu memiliki jalur yang mudah. Gunung Api Banda adalah salah satu gunung yang tidak ter manusiawi dalam sejarah saya mendaki gunung. Tanahnya tidak stabil, salah injak bisa longsor. Terlebih jalur menuju puncak dipenuhi bebatuan yang kecil (kerikil) dan besar-besar. Tentunya akan sangat licin sekali dan melelahkan. Jalanya curam dan tidak ada bonus sedikit pun.
Di sepanjang jalan kiri-kanan tidak ada pohon yang tinggi. Jadi kita tidak ada penanganan di jalan yang licin ini. Pe`er besar apalagi untuk turun. Kita dibuat merangkak oleh Gunung Api Banda. Tapi Yanto tidak. Dia seperti jalan kaki santai saja disana. Biasanya Yanto memakan waktu 180 menit untuk naik turun, kita pergi 6 pagi, pulang pukul 3 sore.
Puncak
Tidak ada Bandara, Benteng kata untuk menyesal mendaki Gunung Api Banda. Pemandangan indah terlihat seperti lukisan Banda Naira berabad-abad lalu. Terlihat Banda Naira dari semua sisi : Bandara, Benteng Belgica, dan bangunan lainya. Dari sisi sini kami bisa melihat juga, liuk-liuknya Banda Besar dan Pulau Hatta.
https://www.instagram.com/p/BM00zjvAkfz/
Tapi puncak yang gundul ini begitu panas bagi kami. Pukul 11.00 WITA di tanah tertinggi Banda Naira, bukanlah hal yang menyenangkan. Hanya istirahat 30 menit kami memutuskan turun gunung — dengan merangkak — karena jalanan yang berbatu dan licin.
Leave a Reply