Kematian suatu yang nestapa, pilu, dan lara. Pada saat upacara pemakaman, orang yang mati akan disanjung dan diratapi kepergiannya. Seluruh dosa seakan luruh dan hanya kebaikannya yang diperbincangkan. Kerabat akan datang dan menangis. Itulah kematian.
Manusia acap kali menjadi makhluk artifisial. Rasa simpati tidak bisa diterka sebagai perasaan yang otentik. Sehingga senyuman manusia adalah bentuk yang imajiner yang tidak melulu dengan pengungkapan perasaan bahagia. Bisa jadi ungkapan simpati dan senyuman beriringan dengan ocehan cela.
Olga Syahputra tiga hari lalu tepatnya, 27 Maret 2015, telah berpulang setelah terbaring di rumah sakit Singapura selama setahun terakhir. Rasa duka bergema di teve dan media sosial. Bukan lah hal yang aneh apabila tagar #RipOlgaSyahputra menjadi trending topic di Twitter. Bahkan berita kematian Olga Syaputra di tanah air melebihi pemberitaan kematian Lee Kwan Yew yang meninggal empat hari sebelumnya.
Dalam perbincangan dua perempuan muda di busway jurusan Cawang-Grogol yang penuh sesak, salah satu dari perempuan itu menyindir yang lainya karena beberapa tahun lalu ia sangat gencar mencaci Olga Syahputra yang acap kali ditegur KPI karena lawakannya yang kelewat sensitif. Namun kini ia yang gencar jua mengobral rasa duka yang teramat dalam. Jawabnya sederhana : Biarin. Biar ramai.
Apakah saat ini begitu mudahnya manusia modern untuk mengungkapkan sesuatu. Rasa simpati tidak perlu diungkapkan seperti orang jaman dulu yang menunjukkan hal-hal konkret. Kini cukup menulis pesan dengan emoticon dengan raut sedih. Tempatnya pun tidak mesti di rumah duka, bisa di kamar mandi, bioskop, pesta, bahkan sedang hura-hura.
Begitu pun pada saatnya kita mati. Orang dekat dan kerabat rasanya tidak perlu datang. Mereka bisa saja menulis tagar kematian kita. Siapa tahu kita menjadi terkenal. Tapi apa gunanya?
Leave a Reply