Peran Strategis Ombudsman RI Dalam Pengawasan Pelayanan Publik

Hans Kelsen nampaknya lebih dulu tahu tentang kedudukan masyarakat dalam sistem pemerintahan presidensial. Dalam bukunya yang berjudul General Theory of law and State, filsuf dan ahli hukum asal Austria ini pernah menyebut parlemen yang menetapkan undang-undang, dan warga negara yang

Warga negara memang diberi banyak kedudukan dalam sistem pemerintahan yang dipilih Indonesia. Selain memiliki peran mengawal kinerja pemerintahannya, warga negara, dalam arti sempit, merupakan individu yang diberi kedudukan hukum jika terlibat dalam suatu transaksi hukum perdata, misalnya : kontrak.

Di Indonesia sendiri, kepentingan akan kedudukan warga negara nampaknya dilanjutkan mantan Presiden Indonesia Abdurrahman Wahid, dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional–Saat ini Ombudsman Republik Indonesia. Tepatnya pada Maret 2000, saat itu, warga negara memiliki kedudukan penting dalam menilai pemerintahan yang memimpinnya. Rakyat semakin berperan, dalam memagari arus Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Saat menghimpun laporan masyarakat terhadap pemerintahannya, Ombudsman bertugas melanjutkannya dalam tahap investigasi. Seperti yang terjadi pada Wali Kota Bandung Ridwan Kamil pada 25 Agustus 2014. Ia dilaporkan sejumlah aktivis lingkungan karena tak mampu menegakkan Peraturan Daerah No 11 Pasal 49 Tahun 2005 mengenai penyelenggara Kebersihan, Ketertiban dan Keindahan (K3) yang mengacu pada masalah sampah. Ombudsman, sebagai penyambung lidah, menyebut Pemerintah Kota Bandung lalai lantaran tak memberi sanksi Rp 250 ribu pada pelanggar Perda tersebut.

Saat itu, Ridwan mengakui pihaknya belum sampai pada penegakkan Perda tersebut. Alasannya, Pemerintah Kota Bandung masih fokus terhadap perubahan kultur masyarakat yang membuang sampah sembarangan. “Setelah terasa dampak positifnya, kami baru menegakkan secara maksimal Perda K3,” ujar Ridwan, seperti yang ditulis Koran Tempo pada 26 Agustus 2014.

Aspirasi masyarakat tersampaikan. Kepala daerah tersadarkan : upayanya dalam melayani masyarakat belum terpuaskan. Kepala daerah terus membenahi kinerjanya, memanfaatkan anggarannya, dan merumuskan langkah agar warga negaranya merasa aspirasinya didengar.

Adapun Ombudsman tak mesti menunggu laporan yang masuk. Ombudsman lebih agresif dalam investigasi terhadap laju pemerintahan. Seperti investigasi mulus yang dilakukan Ombudsman pada April-September 2014 lalu. Investigasi yang ditujukan pada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta itu, membuat Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengancam akan menurunkan kedudukan sejumlah pegawainya.

Dari penelusuran sejumlah pemberitaan Koran Tempo, saat itu, Ombudsman menemukan duit hasil kutipan tak resmi di Dinas Pariwisata dan Dinas Usaha Mikro Kecil-Menengah dan Perdagangan DKI Jakarta dengan total Rp 1,2 miliar. Dari investigasi itu, ditemukan fakta klasik yaitu sejumlah pegawai yang menawarkan bantuan penyelesaian perizinan melalui gerai tak resmi dengan imbalan tertentu.

Peristiwa antara Ahok dan sejumlah pegawainya, terlihat diinisiasi oleh Ombudsman. Sekali pun sebuah kelompok masyarakat tak peduli politik, misalnya, tapi terdapat Ombudsman di dalamnya, maka laju pemerintahan semestinya berjalan mulus.

Sayangnya, fungsi Ombudsman tak begitu menonjol. Masyarakat lebih tahu Komisi Pemberantasan Korupsi, atau Badan Pemeriksa Keuangan dibandingkan lembaga ini. Masyarakat Indonesia, seperti yang dikatakan sejumlah ahli hukum, tak memahami apa perbedaan Ombudsman dan lembaga legislatif.

Gagasan penulis muncul menyoroti beberapa hal yang menjadi penyebab atas keadaan tersebut. Kewenangan Ombudsman dalam menindak seseorang, tak seluwes KPK. Komisi anti rasuah itu berhak melakukan “Operasi Tangkap Tangan” atau sering khalayak sebut dengan istilah Jum’at Kramat–lataran KPK kerap menangkap terduga koruptor pada Jumat.

Gagasan tersebut bukan berarti Ombudsman mesti memiliki langkah yang sama dengan KPK. Artinya, Ombudsman di mata masyarakat tak memiliki peran jauh dalam menduga seseorang menjadi pelaku Maladministrasi. Padahal, itu yang ditunggu masyarakat. Perlu disadari, masyarakat Indonesia begitu haus, dan terpuaskan jika melihat seorang koruptor dijebloskan ke bui.

Gagasan lainnya, menjurus pada media massa. Industri media berkembang begitu pesat, bersaing dalam mengungkap fakta di balik orang yang dipilihnya (Red : pemerintah).

Tentunya media massa, mengikuti permintaan, lebih tergiur dalam beberapa jenis berita investigasi. Pertama, siapa orangnya, bagaimana kronologis praktek penyelewengannya, dan sejauh apa dampak perilaku pemerintahnya. Media massa tak perlu di undang, apalagi bagi komisi independen seperti Ombudsman. Mereka, datang dengan sendirinya, jika investigasi Ombudsman tak keliru, logis, dapat dipercaya, dan memihak pada rakyat.

Dari kisah Ridwan Kamil dan Ahok, Ombudsman secara nyata memiliki fungsi penting bagi pemerintah dan warga negara. Terkadang, selain memberi masukan pada suatu kinerja pemerintah, laporan masyarakat justru dapat menyerang pemimpinnya. Disana pula, visi Ombudsman diuji : mewujudkan pelayanan publik prima yang menyejahterakan dan berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kata “Keadilan” pada visi Ombudsman memang tak selamanya menyenangkan. Salah satu pihak–warga atau pemerintah, mesti merubah sikapnya dalam memimpin, atau dipimpin. Bahkan tak jarang Ombudsman sendiri yang kena semprot unjuk rasa warga.

Wakil Presiden Boediono pernah bilang, peran Ombudsman RI sangat penting. Menurut mantan Menteri Koordinator Perekonomian ini, lembaga Ombudsman ada di hampir semua negara dengan tugas mengawal kualitas pelayanan negara kepada warganya. Artinya, Ombudsman mesti dirawat, dan diberdayakan, sebagai corong warga negara.

Pada Kamis, 6 Desember 2012, mantan Gubernur Bank Indonesia itu menjelaskan dua hal yang mesti ditangani Ombudsman dari segi birokrasi. Pertama, kasus-kasus pengaduan pelayanan penyelenggara negara oleh masyarakat. Menurutnya, kasus semacan itu harus ditelusuri dan dicari jalan keluarnya sampai rampung. Adapun tugas kedua Ombudsman, adalah menata sistem dalam rangka reformasi birokrasi.

Saat mengatakan itu, Boediono memang tengah menghadiri rapat koordinasi antara Ombudsman RI dengan jajaran eksekutif. Tapi penulis rasa hal itu merupakan perkataan yang muncul dari sudut kesungguhan. “Ombudsman harus benar-benar dimanfaatkan, karena negara kita masih menata berbagai segi kehidupan,” kata Boediono.

Kembali pada buku General Theory of law and State, Hans Kelsen, secara tak langsung, menyebutkan pentingnya lembaga independen layaknya Ombudsman. Lagi-lagi ia mengatakan : Nilai normatif hukum tak seperti nilai-nilai agama. Seseorang yang tak berdoa sebelum tidur, tak akan di hukum langsung atas ketidakpatuhannya itu.

Maka kita semua tahu, Ombudsman penting, dan strategis bagi negara berkembang seperti ini. Seperti kita : hidup di atas tanah mapan, hidup di bawah pemerintah yang rawan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *