Saya tahu, bulan ini adalah Euforia untuk tiga hal : Pemilu Presiden, Piala Dunia, dan Ramadhan. Tiga hal yang tahun-tahun sebelumnya di rayakan disaat yang berbeda, namun hari ini harus dirayakan berdampingan. Ada rasa lucu dan unik, seperti nonton Piala Dunia sembari santap sahur, nonton piala dunia dengan iklan sirop, atau nonton debat presiden dan pertandingan bola bersamaan.
Sejenak, kita teralihkan dengan hiburan piala dunia dan khusyuk beribadah di bulan Ramadhan dari situasi politik dimana negeri kita yang akan menuju ke era transisi setelah stabilitas yang telah dibangun oleh era SBY pasca gonjang-ganjing masa reformasi. Namun demikian, saya rasa, Pemilu presiden menempatkan diri di posisi ter puncak ‘popularitas’ di banyak tempat. Saya melihat itu, dari berita yang paling diminati dibaca di banyak portal berita daring, yaitu berita panasnya persaingan Prabowo-JK lah yang memiliki pembaca terbanyak.
Di jalan raya, misalnya, saya melihat khalayak lebih banyak menggunakan atribut ‘projo’ dan ‘garuda merah’ dibandingkan jersey pemain timnas di piala dunia. Hal positifnya, walaupun Indonesia adalah negara ter-antusias pertama dalam menyambut piala dunia–sekitar 60% lalu diikuti oleh Brazil, dimuat dalam koran tempo beberapa hari lalu–berarti masyarakat kita memang benar-benar merayakan pesta demokrasi di negara demokrasi terbesar di dunia ini. Tapi negatifnya, masyarakat kita terlalu fanatik terhadap satu kubu saja.
Saya akui, barisan pendukung Jokowi memiliki kreativitas yang bukan kepalang baiknya. Namun, barisan pendukung Prabowo memiliki barisan yang kuat dan solid. Jokowi diminati oleh masyarakat menengah ke bawah. Prabowo dipandang mampuni oleh kalangan berpendidikan tinggi dan elite. Mereka semua tersegmen dengan jelas, sehingga saya bisa melihat seseorang Projo atau ‘garuda merah’ dari segmentasi pendidikan dan kelas ekonomi–walau dalam beberapa kasus perkiraan saya meleset.
Pada akhirnya, saya adalah tidak pernah mudah mempercayai seorang. Saya menempatkan sedikit ruang untuk menaruh alasan-alasan untuk tidak mempercayai seseorang. Itulah mengapa saya tidak pernah menaruh simpati dengan Jokowi, seorang yang jujur, merakyat, sederhana, namun dengan kekayaan 26 Miliar (laporan harta kekayaan pejabat, KPK pada tahun 2012). Beberapa hari lalu, saya tertarik dengan sosok Prabowo. Namun, sekali lagi saya punya banyak alasan rasional untuk tidak bersimpati, terutama dalam hal kelamnya angkatan bersenjata kita pada masa orde baru.
Masyarakat kita, terutama mereka yang fanatik, mestinya harus bersiap diri sakit hati karena si jujur itu belum ketahuan bohongnya dan si tegas belum ketahuan bolongnya. Kita tidak pernah kapok untuk percaya pada politisi yang telah membohongi kita berkali-kali. Lebih baik, kita sejenaknya saja menonton Piala Dunia atau beribadah dengan khusyuk. Itu adalah alat bantu yang manjur agar kita tidak terlalu fanatik.
Jakarta, 02 Juli 2014
Leave a Reply