Telefon dari mbak Ami sedikit membingungkanku waktu itu, antara jawaban ya dan tidak namun lebih cenderung ya. Satu hal untuk tidak hanya masalah nominal dan kesempatan tak pasti yang bisa saja datang di hari-hari esoknya. Akhirnya kujawab ya, dengan risiko melepas kesempatan-kesempatan yang mulai berdatangan. “Hidup itu pilihan dan lihatlah apa yang akan terjadi”, kalimat dari kamusku.
Hari ini setelah seminggu dari keputusan itu, aku sudah mulai bekerja untuk hari kedua. Sudah beberapa yang aku tahu, karena alumni banyak juga yang bekerja di sini. Seperti Kang Roni yang menjadi atasanku, Kang Iqbal senior lima tingkat diatasku, dan mbak Asta yang punya pengalaman buruk menjadi mahasiswa statistika. Juga teman baru di sekitarku, Liris, wanita kurus yang mengajariku banyak hal ; Ryan, pria ‘sejarah’ yang duduk di pojok dan selalu serius dalam bekerja ; Kokom yang enggan datang ke ruangan ini ; Nindy yang suaranya pelan ; Nita yang pindah ruangan karena adanya aku.
Di sinilah, kusebut tempat ini batu keras. Berada di tingkat delapan tanah Jakarta yang dindingnya bisa bercerita banyak karena sudah melihat banyak hal. Bela, perempuan cantik yang datang hanya untuk menyantap makanan siang hari di depanku dengan obrolan ala kadarnya juga menyapa dinding ini. Kusebut gedung ini Sarinah. Seorang wanita setengah baya dengan kebaya klasik tergambar dikepalaku ketika mendengar nama ini.
Entah sampai kapan aku ada disini, hingga senja pun tak masalah sebenarnya. Namun, orang disekitarku tidaklah mendukung itu. Dimatanya, aku haruslah berdasi dan berdompet tebal. Menurutku, “haruslah kesenangan dan senyum ketika bekerja” – kembali dikutip dari kalimat dalam kamusku. Namun mari kita lihat nanti, aku baru saja menginjak gedung ini beberapa hari.
Yah, aku hanya menikmatinya. Toh ketika bekerja di sini, tulisanku kembali mengalir. Pikiranku sudah seimbang tidak seperti minggu-minggu sebelumnya. Walau sebenarnya Jakarta tidaklah menyenangkan, walau sebagian besar temanku sudah di sini, mereka terlalu sibuk untuk menjadi individualis demi masa depan. Tetapi aku telah terpanggil dan bersedia untuk memenuhi tanah ini, berhimpitan diantara orang tua dan muda yang telah berdiri sebelumnya dengan keringat yang mengalir tak hentinya.
“Selamat datang di Jakarta,” untukku.
Leave a Reply