“Di dieu mah jarang aya sapi, aya mereun lima taun sakali, domba gen paling dua-tilu an”* Ki Edi, salah satu sesepuh di Desa Binangun menyahut pertanyaanku tentang suasana kurban sore itu. Sore yang indah dengan suasana desa yang damai, warga yang ramah, begitu juga alam dan mataharinya seakan tersenyum pula melihat kami.
Desa Binangun, sekitar dua puluh menit perjalanan dari Kota Banjar, Jawa Barat, adalah desa yang benar-benar desa. Jalan yang berliku nan hijau, udara yang sejuk, petani serta kerbau berlalu-lalang, dan anak SD tanpa alas kaki seperti jejeran lukisan landscape di jalanan Ubud.
Ketika matahari mulai meninggi setengahnya. Berhamburanlah siswa-siswa SD Binangun, satu satunya SD di desa ini, untuk bermain bola atau jajan ala kadarnya. Lensa kameraku merupakan benda aneh bagi mereka. Ada beberapa dari mereka tanpa alas kaki berjalan di aspal yang mulai memanas, dengan sarung yang mengikat di pinggangnya untuk pergi ke surau. Melaksanakan shalat Dzuhur.
Di desa ini hanya ada satu surau yang menjadi pusat aktivitas rohani warga, tempatnya pun harus melewati jalan setapak sekitar seratus meter dari jalan utama. Tidak begitu besar, hanya berlantai satu yang dibangun secara gotong royong oleh warga, sebuah aplikasi pelajaran PPKn yang nyata. Tak ada yang mengira, di sinilah tempat yang tak pernah sepi.
Ratusan warga yang mendiami desa ini haruslah berebut mendapatkan daging dari dua-tiga kambing setiap idul adha. Walaupun sebenarnya mereka tak berebutan seperti orang di kota, pengurus surau akan berkeliling membagikan daging dengan rata pada seluruh warga. Menunggu di rumah-rumah mereka yang baru mendapatkan listrik di tahun 90an.
Tahun ini di hari raya besar umat muslim, mereka akan menunggu ketukan pintu pengurus surau di rumah mereka. Dengan satu harapan :apakah kami mendapatkan sapi untuk tahun ini.
Leave a Reply