Kakek dari ibuku bernama Petrus Gaspersz dan nenekku bernama Petronella Puturuhu. Mereka Penganut Protestan yang taat. Kedua marga Gaspersz dan Puturuhu bisa saja dari Maluku, tetapi Kakekku berasal dari Timor Timur (Kini Timor Leste). Hal yang menarik adalah kedua orang tua ibuku ini sudah ditinggalkan orang tua mereka sejak kecil. Bahkan menurut cerita, Kakekku bertemu kakaknya, Opa Hans (berasal dari kata Hasan), ketika mereka berumur tua.
Keluarga kakekku hampir semua menjadi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) kecuali satu saudara perempuan yang aku lupa namanya. Itu pula lah yang menyebabkan kakekku dipindah tugaskan ke Bandung. Aku tidak mengerti, kemungkinan kakekku tidak tamat Sekolah Rakyat pada waktu itu dan untuk menjadi seorang tentara cukuplah mudah pada zamannya. Oleh karena itu pangkatnya tidaklah terlalu tinggi, bahkan ketika pensiun di umur 48 kakekku sempat menganggur dan di awal 1980 menjadi seorang satpam di Diler kendaraan bermotor di Bandung.
Kakekku tutup usia di tahun 1985 pada tengah malam, Ibuku dikabarkan pagi harinya. Sungguh mengejutkan karena ini sangat tiba-tiba. Serangan jantung yang ketiga membuat kakekku terbunuh pada tahun 1985. Memang serangan jantung pembunuh yang luar biasa. Sangat luar biasa sehingga seorang yang tertawa di pagi hari bisa terbunuh di siang hari.
Aku belum pernah bertemu apalagi bercakap dengan Petrus Gaspersz, Kakekku, padahal sungguhlah menyenangkan mempunyai Kakek seorang tentara di awal kemerdekaan. Punya segudang cerita di Negeri yang hampir mati di awal kelahirannya dan walaupun pada zaman itu orang Maluku dan Manado dikenal dengan kooperatifnya dengan Kerajaan belanda, tapi aku tidak percaya sepenuhnya. Setidaknya aku mengenal seorang Pattimura.
Bisa dibilang 25% dari darahku adalah darah maluku, 25 % berdarah Timor, 12,5% berdarah Jawa dan 37,5% berdarah sunda. Seorang kakekku dari ayahku mempunyai cerita yang hampir sama, tidak tamat Sekolah Rakyat dan sempat menjadi tentara Siliwangi, tetapi sempat kabur dari pasukan entah apa alasannya. Yang menarik adalah kisahnya ketika Mengepung Kartasuwiryo seorang pimpinan NII di Malangbong, gerakan itu bernama pager betis, mungkin karena berlapis-lapis agar pimpinan NII itu tidak bisa kabur dari persembunyiannya di hutan.
Tentunya aku suka kisah-kisah itu – Diluar keakuratan kisah-kisah yang hanya aku dengar sepihak. Bisa jadi memang benar adanya, atau hanya kisah sebelum tidur. Namun tetap saja menarik mendengar satu hikayat yang tiada dalam buku sejarah. Karena sejarah selalu mencatat gerakan dan kebijakan para pemimpin besar. Bung Karno, bung Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, dan lainya yang tercatat dalam sejarah kita. Kita tidak tahu dengan seorang pejuang kemerdekaan yang mati meninggalkan anak istri mereka atau seorang anak kecil yang mati di tembak senapan penjajah dan tidak merasakan berkembang, semua itu tidak tertulis dalam sejarah dan kita tidak akan pernah tahu nama-nama mereka.
Leave a Reply