Pada tahun 1999, dengan satu alasan penting. Aku, ibuku, dan kedua adikku memutuskan untuk pindah ke Kabupaten Ciamis tanpa kakakku yang dulu masih berkuliah di D3 Sastra Inggris Unpad dan Ayahku yang masih mempunyai tuntutan pekerjaan di Bandung. Aku ingat sekali waktu itu baru selesai mengenyam pendidikan kelas 4 di SDN binaharapan 01 dan harus meninggalkan dua sahabatku, Nuzul dan Bobby yang mempunyai rumah dekat rumahku dengan kebetulan kita bertiga adalah satu kelas. Dan teman lainya tentunya, ada Irfan, indra, Bowo, Dinur, Gugun, Anak bertubuh gempal bernama Ilham, dan banyak lainya.
Setelah berkeliling Kabupaten mencari rumah, akhirnya ibuku memilih rumah tua di Kecamatan Sadananya, Kabupaten Ciamis. Rumah tua dengan desain pintu dan jendela berdaun dua helai, seperti film klasik dimana seorang wanita cantik membuka jendela dan menunggu sang pangeran datang. Rumahnya sangat unik dan berbentuk huruf L. Tidak mempunyai kamar mandi dan baru dibangun ketika kami datang. Rumah kami memotong selokan besar berlebar satu meter dan aku sering bermaun perahu dan nantinya. Sebuah pohon sukun besar entah berapa tahun umurnya memayungi rumahku. Dari rumahku, aku bisa melihat satu pohon beringin besar yang berusia ratusan tahun. Aku ingin kesana teapi kisah menyeramkan telah menahan niatku, bahkan hingga saat ini aku belum pernah melihat poho itu dari dekat.
Masih tentang rumah ini, aku tidak mempunyai tetangga dekat disini, ya untuk pergi ke tetangga terdekat perlu berjalan sedikit. Di depan rumahku luas terbentang sawah, dan di bagian belakang rumahku dikelilingi dua kolam sebagai fasilitas septictank dari rumah ini. ya kami tidak perlu membuat septictank karena ikan-ikan akan memakan kotoran kami sekeluarga. yang kusuka dari tempat ini adalah anak-anaknya, bocah lugu tanpa alas kaki yang mengejar layangan di antara pematang sawah. Berbeda dengan tempatku sebelumnya yang bermain layangan di antara rumah-rumah dan tiang listrik. Bermain layangan di sini begitu menyenangkan, berjatuh diantara lumpur dan kolam ikan dan kami tidak perlu takut layangan kami tersangkut di tiang listrik. Satu anak yang aku ingat pada tahun ini adalah bocah legam yang mempunyai struktur gigi bagian bawah lebih maju dengan gigi bagian atas, kami menyebutnya ‘cameuh’. Bocah yang berumur lebih besar daripadaku itu Bernama Edi. Edi sangat keheranan ketika aku membawa video game 16 bit dan satu unit komputer ke rumahku ini. Setiap hari di awal kepindahan kami semua bocah bermain dengan bergantian video game ini. Ya, dua orang bermain dan belasan orang menanti giliranya.
Aku dan adikku memilih SDN Sukajadi III sebagai sekolahku, sekolah ini berada di kecamatan sebelah dan perlu menggunakan angkot sekitar 15 menit setiap harinya. Kami hanya perlu mengeluarkan uang Rp 600 untuk pulang dan pergi dari rumah kami. Sungguh menantang karena setiap paginya enggan berhenti di rumah kami karena lebih meilih penumpang dewasa yang mempunyai ongkos lebih besar. Alasan utama memilih sekolah ini karena sekolah ini mempunyai fasilitas lebih baik dari sekolah lainya seperti perpustakaan dan alat-alat gamelan. Tentunya septictank alami berada di sekolah ini pula.
Ketika di hari pertama masuk, aku berada di kelas 5. Dan guruku, Pak Tatang, memperilahkanku masuk pada waktu itu. Aku memakai seragam merah-putih, dasi merah, dan sepatu basket Precise. Sungguh kaget aku masuk ke ruangan ini karena hampir semua anak tidak menggunakan sepatu sepertiku, sebagian besar menggunakan sendal gunung bahkan beberapa menggunakan sandal swallow.
Hal menarik yang tidak dipunya oleh pelajar lain di kota besar ialah pada tiap harinya setiap kami pulang kami tidak lantas langsung pulang ke rumah kami, tetapi kami harus menyapu mengepel ruang kelas hingga bersih, Ya kelas terujung dibangunan sekolah ini menjadi istana kami selama dua tahun kedepan.
Seorang bocah yang kukenal adalah Opik dan teman sebangku pertamaku di sekolah ini bernama Aceng. Aceng ini sangat baik dan menyapa ketika pertama kali aku masuk, “Boleh duduk disini”, ujar nya. Tentu saja aku mengangguk tanda setuju. Pembicaraan menarik di lembaran awal di Cimais ini.
Leave a Reply