Saya bisa jadi tidak akan pernah mengerti arti dari revolusi. Mao Zedong bilang, “Jika Anda ingin tahu rasa buah pir, anda harus makan sendiri. Jika Anda ingin mengetahui teori dan metode revolusi, Anda harus mengambil bagian dalam revolusi. Semua pengetahuan asli berasal pengalaman langsung.” Sedangkan saya tidaklah pernah turut serta dalam proses revolusi. Pada tahun 1998 saya masih berumur sembilan tahun dan tidak tahu menahu.
Tapi ketika anda membaca halaman pertama dari buku Masa Aksi (1926), karya Tan Malaka, anda mendapatkan pencerahan tentang revolusi, Tan Malaka bilang revolusi timbul karena sebab – yang tidak bisa disingkirkan – pertentangan kelas yang semakin tajam. “Semakin besar kekayaan pada satu pihak, semakin beratlah kesengsaraan dan perbudakan di lain pihak. Pendeknya semakin besar jurang antara kelas yang memerintah dengan kelas yang diperintah semakin besarlah hantu revolusi,” kata Tan. Hal ini boleh dibilang pemikiran Tan memang terlalu Marxist, tapi tidak haram kalau pemikiran ini menghantui kita saat ini. Akhir-akhir majalah forbes merilis orang-orang terkaya versi mereka (source) 22 orang diantaranya berasal dari Indonesia, dengan mengantongi kekayaan sebesar Rp 713 triliun. Di pihak lain, BPS meris jumlah pengangguran di Indonesia meningkat sebanyak 210 ribu jiwa dalam enam bulan terakhir (pada bulan Februari 2015) (source). Hal kontradiksi ini apakah sebagai tanda datangnya hantu revolusi di Indonesia?
Masih kata Tan, pertentangan-pertentangan yang terjadi sejak dulu kala, didalamnya pertentangan antar agama, pada hakikatnya itu adalah perjuangan kelas untuk kekuasaan ekonomi dan politik. Tapi pada dasarnya, revolusi berangkat untuk merubah hal buruk menjadi-baik, atau perbaikan. “Revolusi lah yang bukan menghukum sekalian perbuatan ganas, menentng kecurangan dan kealiman, tetapi juga mencapai sekalian perbaikan bagi yang buruk,” tulis Tan di buku Aksi Masa. Tetapi revolusi juga terkadang menyakitkan. Proses perbaikan yang harus dilalui dengan proses yang pedih. Itulah perjuangan. Perjuangan akan semangat revolusi inilah di tulis Goenawan Muhammad dalam esainya tahun 1976. Katanya, “Revolusi, kata Mao, bukanlah pesta makan.” Revolusi semestinya harus berlangsung terus menerus, tidak harus masyarakat lengah. Sikap itu yang membawa RRC (pada saat itu) menjadi negara yang memiliki kesederhanaan hidup.
Tapi pandangan kritis yang menjadi pertanyaan kita, Apakah indonesia masih perlu revolusi – yang dimaksud dengan pengertian Tan ? Gejolak-gejolak masa turun ke jalan mengubah segalanya. Tak apa kita kelaparan beberapa saat, tapi akan baik setelahnya. Tapi entah pihak mana yang akan kembali berkuasa. Bukankah kini penguasa sudah kadung super kuasa?
Tapi dengan revolusi kita – bisa jadi – menjadi bangsa yang lebih baik. Ada jaminan dari tan, ia tulis : Satu kelas atas satu bangsa yang tidak mampu melemparkan peraturan-peraturan kolot serta perbudakan dengan perantaraan revolusi, niscaya musnah atau ditakdirkan menjadi budak selama-lamanya. Revolusi itu menciptakan !!!”
Untuk saat ini, apakah itu masih benar?
Referensi :
Catatan Pinggir 1 Guoenawan Mohammad, Esai yang berjudul “Bukan Pesta Makan”
Massa Aksi, Tan Malaka (1926)
On the Relation Between Knowledge and Practice, Between Knowing and Doing (1937) https://www.marxists.org/reference/archive/mao/selected-works/volume-1/mswv1_16.htm CNN Indonesia,Ekonomi Melambat, Pengangguran Indonesia Bertambah, http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150505150630-78-51318/ekonomi-melambat-pengangguran-indonesia-bertambah/ Liputan 6, Orang Terkaya Dunia Asal RI Kantongi Harta Rp 713 Triliun, http://bisnis.liputan6.com/read/2186369/orang-terkaya-dunia-asal-ri-kantongi-harta-rp-713-triliun
Leave a Reply