Beropini

Beropini sudah semestinya lugas, jujur, dan to-do-point, tapi ada yang jauh lebih baik diperhatikan : bijak. Beropini itu upaya mengutarakan pendapat terhadap satu hal tertentu. Setiap orang punya sudut pandang dan pendapat berbeda. Perbedaan inilah yang acap kali menimbulkan kebisingan dari yang selaras atau tidak.

Dalam beropini terkadang masih disisipi rasa kesal, dengki, atau tidak enak. Bagi yang membacanya, bisa saja kurang sedap – bahkan tidak etis. Bagi yang beropini, itu biasa saja. Itulah yang perlu penulis perhatikan : memosisikan diri sebagai pembaca.

Salah satu teman saya, sebut saja A, mem-posting salah satu foto di social media Path, isinya menggambarkan kegiatan dia bersama dua temanya sedang olahraga di area gym di salah satu gedung pemerintah di Jakarta – bisa jadi sebagai fasilitas tambahan di kantor tersebut. Usai si A memposting, si B, teman saya lainya, memposting foto si A yang sudah ia sensor. Isi Post itu, dengan berapi-api, ia kesal dengan fasilitas di kantor tersebut yang terkesan ‘mewah’  padahal banyak masyarakat diluar sana yang jatuh-bangun kesusahan.

Diluar opini si B, rasanya akan tiga pendapat mengenai foto tersebut. Pertama, sangat bagus perusahaan, lembaga, bahkan pemerintahan memberikan fasilitas olahraga bagi para karyawan. Dengan badan yang sehat, karyawan bisa berkontribusi lebih baik buat perusahaan dan negara. Kedua, tidak setuju dengan fasilitas di gym di gedung pemerintahan karena fasilitas itu bukanlah prioritas utama, masih banyak masyarakat yang membutuhkan. Ketiga, tidak perlu penting membahas hal itu karena bukan urusan siapa pun.

Dari ketiga jawaban itu adalah sah-sah saja bagi mereka yang berpikir. Mengkritisi sudah menjadi kebiasaan manusia sejak dulu kala. Tapi bagi si B, ia telah beropini dengan cara yang kurang bijak. Hanya bersumber dari foto teman yang posting foto di tempat gym di gedung pemerintahan, ia sudah men-judge banyak hal. Tahu dari mana bahwa fasilitas gym tersebut dimiliki sepenuhnya oleh pihak tertentu karena dari lokasinya? Bukanya sudah biasa, di Jakarta terutama, sewa menyewa gedung untuk bisnis. Tahu dari mana fasilitas itu menggunakan uang negara? karena bisa jadi malah si gedung pemerintahan tersebut mendapat untung dari membership club atau sharing profit. Lalu apabila memang benar-benar menggunakan uang negara, apakah  itu disalahkan? Ketika dibanyak negara lainya fasilitas-fasilitas pendukung di gedung pemerintahan sudah menjadi hal lumrah : gym, cafe, baby care, dan lapangan olahraga. Mereka sudah paham benar fasilitas pendukung dapat meningkatkan kinerja karyawan, bahkan untuk karyawan swasta yang mengedepankan keuntungan, misal : google inc.

Selain mengumpulkan bukti-bukti konkret, hal lainya adalah dalam penggunaan foto, dimana privacy saat ini menjadi hal yang murah. Apabila konten sudah tersimpan di dunia daring, maka orang-orang dapat mencomot dan mengubah seenaknya. Itu sah apabila sudah ada izin empu­-nya. Apabila tidak, itu tidaklah baik.

Dalam cara beropini, Muhammad Hatta memiliki cara yang bijak. Ia menulis dengan lugas, jujur, dan jelas. Apabila opini itu perlu untuk disampaikan maka akan ia tulis. Namun apabila opini yang memang harus disampaikan namun menyangkut privasi dan hal-hal sensitif, maka akan ia gubah dengan cara yang lain, misal ia pernah menulis : kami tidak akan menjadi pendorong kereta Moskow – dalam tulisannya setelah perpecahan Perhimpunan Indonesia di Belanda – dengan maksud, ia tidak akan membiarkan organisasinya (Perhimpunan Indonesia), berpindah haluan ke paham sosialisme-komunisme yang berkiblat, pada saat itu, di Rusia.

Namun, beropini selalu menjadi daya tarik sendiri. Seperti halnya nelayan yang melempar umpan  di danau yang penuh ikan. Ia beropini (dalam bentuk pakan ikan) lalu ia lempar ke khalayak (segrombolan ikan). Nelayan hanya melihat reaksi ikan-ikan itu. Ada yang diam ada juga yang bereaksi keras. Biasanya yang bereaksi keras akan mati duluan, karena dijerat oleh jala yang kelaparan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *