Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi pada Zaman Hindia Belanda

Daftar Isi


Table of Content
  • Daftar Isi
  • Abstrak
  • Pendahuluan
  • Metodologi
  • Pembahasan
    • Sistem Kebijakan di Hindia Belanda
    • Sistem Pendidikan
    • Ilmuwan dan Naturalis
    • Organisasi dan Tren Riset Penelitian
    • Kesimpulan
  • Referensi
Untitled Tab

How to cite (APA): Akbar, M., & Handayani, T. (2022). Science and Technology Development in Dutch East Indies. Indonesian Historical Studies, 5(2), 115-133. https://doi.org/10.14710/ihis.v5i2.13475

How to cite (IEEE): M. Akbar, and T. Handayani, “Science and Technology Development in Dutch East Indies,” Indonesian Historical Studies, vol. 5, no. 2, pp. 115-133, Mar. 2022. https://doi.org/10.14710/ihis.v5i2.13475

Untuk Artikel Asli dipublikasikan disini: https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/ihis/article/view/13475



Abstrak

Artikel ini memaparkan sejarah panjang perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia di bawah Pemerintahan Hindia Belanda. Kajian ini melihat bagaimana kebijakan pendidikan dan iptek secara bersama-sama menciptakan pengembangan kontribusi peneliti di lembaga penelitian. Penelitian ini menggunakan triangulasi model konvergen yang merupakan metode campuran di mana kualitatif menggunakan arsip untuk menemukan jejak komprehensif yang diambil melalui sumber tertulis, metode kuantitatif dan bibliometrik untuk menunjukkan bagaimana jaringan penelitian terbentuk dalam menghasilkan penelitian dari tahun 1849 hingga 1940, terutama pada penelitian. topik. Studi ini mengumpulkan data dari 201 artikel ilmiah dari database Scopus untuk mendapatkan informasi tentang tren publikasi ilmiah Hindia Belanda. Temuan penelitian ini adalah setelah politik etis di awal abad 21, pemerintah kolonial gagal menyediakan sistem pendidikan yang lebih inklusif bagi semua golongan. Oleh karena itu, para ilmuwan yang berkontribusi sebagian besar berasal dari kelompok Eropa dan kontribusi kecil orang Indonesia di bidang kedokteran. Dalam konteks nasional, terjadi peningkatan jumlah publikasi ilmiah setelah tahun 1920-an yang disumbangkan oleh berbagai lembaga penelitian dan pengembangan pemerintah yang didirikan beberapa dekade sebelumnya. Setelah pemerintahan kolonial berakhir pada tahun 1941, keunggulan-keunggulan tersebut menjadi landasan awal ekosistem iptek dalam Pemerintahan Republik Indonesia.

Pendahuluan

Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) Indonesia tidak lepas dari pengaruh kolonialisme yang memberikan fondasi awal ekosistem iptek di Hindia Belanda. Pada masa tersebut, infrastruktur iptek dibangun, terutama pusat-pusat pendidikan dan pusat penelitian yang mendukung urusan-urusan pemerintah kolonial. Pembangunan sumber daya manusia dan kebijakan pada pengembangan institusi pendidikan yang dilakukan dimana setelah politik etis[1] yang memungkinkan pendidikan lebih ekstensif pada semua lapisan masyarakat, termasuk kelompok pribumi.

Penelitian yang mengembarkan sejarah panjang perkembangan iptek Indonesia pada masa kolonial Belanda masih minim dijelaskan. Fakhriansyah & Patoni (2019), Laely (2018), dan Suratminto (2013) fokus pada perkembangan ilmu pengetahuan dari sudut pandang pendidikan, terutama pasca politik etis. Sedangkan, Gross (2011) dan Hesselink (2019) melihat bagaimana peneliti beserta organisasinya berkembang dan berkontribusi pada perkembangan pengetahuan di bawah Pemerintah Hindia Belanda. Namun penelitian yang membahas tentang hubungan supply SDM Iptek melalui pendidikan dan kontribusinya dan tren penelitian masih sedikit dijelaskan. Sehingga penelitian ini akan menjawab beberapa pertanyaan penting 1) Bagaimana sistem dan kebijakan pendidikan Hindia Belanda untuk menciptakan sumberdaya manusia Iptek yang baik 2) Bagaimana dinamika peran peneliti dalam membangun perkembangan iptek di bawah Hindia Belanda 3) Bagaimanakah peran organisasi riset dalam menciptakan kemajuan arah perkembangan iptek negara.

Mula-mula penelitian ini secara khusus akan menelaah bagaimana faktor sosial dan ekonomi masyarakat Hindia Belanda yang mempengaruhi kebijakan-kebijakan dalam membangun sistem pendidikan untuk masyarakatnya. Sistem pendidikan ini, nantinya akan mencetak sumber daya yang mampu menjadi ilmuwan untuk menciptakan pengetahuan. Hubungan supply dan demand ini akan melihat siapa saja ilmuwan tercetak sebagai sumber daya iptek. Pada titik ini tulisan ini akan memaparkan peran peneliti bumiputera dalam menghasilkan sebuah produk penelitian. Pada akhirnya, penelitian ini akan menjawab peran dan tren perkembangan iptek melalui pemetaan publikasi ilmiah dari organisasi-organisasi riset baik di bawah Pemerintah Hindia Belanda maupun organisasi ilmiah independen.

[1] Dalam bahasa Belanda dikenal dengan Ethischepolitiek. Sebuah kebijakan untuk lebih ‘memanusiakan’ masyarakat Jawa, salah satunya dengan semakin banyak sekolah-sekolah khusus pribumi. Secara resmi diberlakukan ketika pidato Ratu Wihelmina pada tahun 17 September 1901 (Susilo & Isbandiyah, 2018).

Metodologi

Sebagai bagian dari penelitian sejarah, sebuah proses baku dilakukan untuk mencapai sudut pandang fenomena yang akurat dari proses pengumpulan fakta-fakta sejarah (heuristik), kritik sumber, interpretasi, dan historiografi (Alian, 2012; Garraghan, 1957; Sukmana, 2021; Wasino & Hartatik, 2018). Proses heuristik yang menuntut konstruksi peristiwa pada masa lampau berdasarkan sudut pandang konstruktivisme yang memandang sebuah peristiwa sejarah dipengaruhi oleh berbagai macam latar belakang yang memungkinkan penelitian ini memperluas batasan sumber dan jenis data. Hal ini akan meminimalisir konstruksi sejarah yang bias, yang sering kali terjadi karena sudut pandang penulis yang berbeda, biasanya berasal dari sebuah kelompok negara, agama, ras, kelas, pandangan politik, dan sistem kepercayaan yang berbeda (Buckley, 2016, p. 883).  

Penelitian ini menggunakan, triangulasi model konvergen yang merupakan metode campuran yang dimana proses pengolahan data kuantitatif dan kualitatif bersamaan dilakukan (Bandur, 2019, p. 31). Proses triangulasi konvergen juga merupakan sebuah cara untuk dapat menyandingkan fakta kuantitatif dan interpretasi kualitatif sebagai media kritis dan validasi sebuah peristiwa sejarah sebelum historiografi terbentuk sebagai hasil konstruksi kedua sumber tersebut.

Sumber kualitatif menggunakan penelusuran masa lampau atau heuristik dan menemukan jejak yang menyeluruh dapat diambil melalui sumber-sumber tulisan (Gottschalk, 1975; Herlina, 2020). Salah satu sumber tulisan yang melimpah adalah arsip-arsip digital surat kabar. Bagi penelitian sejarah, penggunaan database surat kabar  adalah cara baru untuk mendapatkan analisis lebih lanjut dan hasil eksplorasi yang lebih kaya untuk melihat fenomena dalam satu subjek dan kurun waktu tertentu (Bingham, 2010). Selain itu, database yang memiliki sumber data yang sangat banyak memberikan kesempatan bagi peneliti untuk melihat runutan kronologi yang lengkap, disertai sudut pandang dan penilaian fenomena tertentu di masa lampau (Bowie, 2019). Sehingga, penelitian ini lebih banyak untuk mengambil konten-konten surat kabar dari database KB[1] yang mengarsipkan berbagai macam sumber berita belanda, termasuk Hindia Belanda.

Selain itu Database Scopus, digunakan untuk menggali informasi tentang tren publikasi ilmiah Hindia Belanda. Sumber data ini, secara deskriptif akan diolah dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif.  Fakta-fakta pengolahan Database Scopus akan juga disandingkan dengan beberapa penelitian serupa, seperti penelitian Hesselink (2019) yang menggunakan database Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië (GTNI). Sedangkan fakta-fakta numerik yang diambil untung menjelaskan kondisi Hindia Belanda pada saat itu menggunakan survey dan sensus nasional oleh Biro Statistik. Data ini sangat penting untuk menggambarkan konteks sejarah berdasarkan situasi sosial, ekonomi, dan kondisi lainnya yang tentunya akan berbeda dengan konteks kekinian.

[1] Koninklijke Bibliotheek atau Perpustakaan Nasional Belanda yang mengarsipkan lebih dari 1.8 juta surat kabar.

Pembahasan

Sistem Kebijakan di Hindia Belanda

Pada umumnya, pada negara-negara monarki di Eropa tidak memberikan ceruk pada demokratisasi masyarakat dalam memberikan interaksi masalah politik kepada suatu negara. Seperti apa yang disebut Nugroho (2014, p. 81) bahwa kebijakan publik pada negara-negara tersebut, termasuk Kerajaan Belanda, adalah kontimentalis yang melihat kebijakan publik adalah sebuah produk hukum yang kekuatan tersentral pada satu pihak tanpa adanya interaksi antara masyarakat dan negara. Sehingga, sebuah masalah bersama yang dianggap penting untuk diselesaikan oleh kebijakan publik tidak dilihat dari kacamata masyarakat secara holistik yakni dilihat dari semua golongan dan lapisan masyarakat bukan dari satu kelompok autokrasi.

Namun, bukan berarti sistem kebijakan kontimentalis tidak lebih baik dengan anglo-saxonis yang menjunjung nilai-nilai demokratis dalam pembuatan kebijakan publik. Apa yang disimpulkan Nugroho adalah kontimentalis bisa jadi memiliki sistem kebijakan yang efisien karena sebuah hukum yang merupakan produk dari kebijakan lebih ringkas dengan hilang nya partisipasi publik, hanya saja yang perlu diperhatikan adalah ketersediaannya elit politik yang profesional. Hal ini perlu menjadi salah bagian kritis dari sistem kebijakan di Hindia Belanda bahwa kenyataan yang terjadi adalah kebijakan-kebijakan yang diterbitkan sangat tegas untuk kemaslahatan pemerintahan dan aktivitas kolonial tanpa melihat kesejahteraan masyarakat untuk semua golongan menjadi tujuan utama.

Lebih lanjut, sistem politik yang dianut Kerajaan Belanda adalah trias politica yang pertama kali sistem dikenalkan oleh filsuf dan juga ahli teori politik dari Prancis, Charles Montesquieu (1689-1755) dalam publikasinya yang berjudul l’Esprit des Lois pada tahun 1748. Tepat satu abad kemudian, tahun 1848, ketika revolusi pada musim semi di eropa, raja William II memutuskan untuk merubah sistem politik di Belanda pada era demokrasi parlementer dengan memurus Johan Rudolph Thorbecke untuk merevisi konstitusi. Pada tahun yang sama, Thorbecke menulis konstitusi yang baru berdasarkan trias politica karya Charles Montesquieu yang dimana sistem politik pada tiga buah bagian diantaranya (1) Fungsi legislatif adalah Pemerintah (Ratu dan Jajaran Menteri) (2) Fungsi eksekutif adalah pemerintah provinsi, kota, dan wilayah jajahan (3) Fungsi yudikatif berada pada sistem peradilan negara.

Salah satu ciri khas dari sistem kontimentalis adalah adanya sebuah lapisan kebijakan yang dibuat berdasarkan nilai makro, meso, dan mikro (Hill & Hupe, 2002; Miller & Demir, 2007; Nugroho, 2014). Makro, seperti perundang-undangan dibuat untuk membuat produk hukum secara umum yang diterbitkan yang berada pada posisi strategis. Landasan utama terselenggaranya aktivitas Kerajaan Belanda dalam Grodwet (konstitusi atau Undang-Undang Dasar) yang pertama kali dibuat pada tahun 1814 dan terus mengalami pembaruan hingga kini. Pada konstitusi tahun 1922, konsep kolonialisme dihapus dan menggantikan negara jajahan seperti Hindia Belanda, Suriname dan Curacao menjadi bagian dari kerajaan[1]. Sehingga, posisi politik daerah tersebut berada pada status hukum kerajaan Belanda yang berfungsi sebagai pelaksana konstitusi melalui regulasi-regulasi teknis baik pada level meso dan mikro. Kebijakan tersebut secara birokrasi dilaksanakan oleh Gubernur Jendral secara hirarki turun pada Residen, Bupati, hingga Lurah.

Mengingat peran Pemerintah Hindia Belanda sebagai eksekutif, maka dalam pelaksanaan kebijakan meso-mikro akan melemahkan fungsi Volksraad yang dibuat pertama kali pada tahun 1918 dan satu-satunya lembaga yang mestinya berada pada tingkatan legislatif dan memiliki keterwakilan pada golongan-golongan tertentu, termasuk bumiputera dan golongan minoritas. Dewan Rakyat ini hanya dijadikan sebagai penasihat gubernur jendral Hindia Belanda tanpa memiliki hak angket dalam penguasaan anggaran pemerintah. Sehingga pada akhirnya akan sedikit masalah dan kebutuhan pada golongan non-eropa mendapatkan perhatian dikarenakan terbatasnya partisipasi dan diskriminasi kebijakan untuk kebaikan semua lapisan dan golongan masyarakat.

[1] BAB I, Pasal 1 Tentang Kerajaan dan Penduduk (Van het Rijk en zijn inwoners). Hindia Belanda sebagai bagian wilayah kerajaan Belanda terakhir tersirat para revisi konstitusi pada tahun 1938.

 

Sistem Pendidikan

Setelah politik etis dalam upaya mengembangkan pendidikan yang lebih inklusif, pemerintah kolonial memerlukan waktu yang panjang untuk menciptakan kebijakan-kebijakan yang mendukung hal tersebut. De Angelino (1931, p. 194) menilai pendidikan sebagai kekuatan sosial di Hindia Belanda­ menghadapi masalah kompleks terutama struktur masyarakat yang sangat berbeda terutama dari kelompok Bumiputera, kelas menengah Tiongkok dan Arab, dan kelompok Eropa, sehingga untuk memenuhi nilai-nilai keadilan, perlu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial dimana kelompok-kelompok itu berada. Bagaimana pun, sistem pendidikan Eropa sulit untuk langsung diberikan pada masyarakat Bumiputra, terutama di wilayah terluar, yang tidak bertutur dalam Bahasa Belanda. Di sisi lain, membedakan kelas pendidikan bisa menilai kebijakan Pemerintah Hindia Belanda diskriminatif dan tidak menghargai nilai pendidikan untuk semua golongan. Hal ini menjadi kondisi dilematis bagi pemerintah Hindia Belanda menghadap situasi double-edged-sword.

 

Seperti halnya pada Tabel 1, perlu waktu hampir satu dekade bagi pemerintah untuk menyediakan pendidikan selain Eurospeesch Lagere School (ELS) yang diperuntukkan untuk komunitas Eropa yaitu Hollandsch Inlandsche School (HIS) yang dibuat untuk kelompok bumiputera. Walaupun pada praktiknya, HIS tercipta untuk kaum bangsawan dan masyarakat terkemuka di Hindia Belanda dan masih menutup kesempatan belajar bagi kaum marginal bumiputera. Bagi mereka yang tidak dapat memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan di HIS, Sekolah Rakyat (Volkschool) adalah satu-satunya opsi bagi kelompok Bumiputera untuk mendapatkan pendidikan baca-tulis-hitung di program pendidikan resmi pemerintah kolonial.

Tabel 1. Stratifikasi Sistem Pendidikan oleh Pemerintah Hindia Belanda

Sumber: Diolah oleh Penulis

 

Tingkat Pendidikan

Nama Pendidikan

Lama Pendidikan

Tahun Didirikan

Lanjutan

Peruntukan

Pendidikan Dasar

Eurospeesch Lagere School (ELS)

7 Tahun

1817

Eropa

Hollandsch Inlandsche School (HIS)

7 Tahun

1914

Pribumi keturunan bangsawan/terkemuka

Holandsch Chineesche School (HCS)

7 Tahun

1908

Tionghoa

Volkschool (Sekolah Rakyat)

3 Tahun

1906

Masyarakat Umum Pribumi

Schakel School/ Vervolgschool

5 Tahun

1915

Volkschool

Lulusan Volkschool untuk melanjutkan MULO

Sekolah Lanjutan Pertama

Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO)

3 tahun ELS, 4 tahun lainnya

1914

HIS, HCS, Schakel School

Selain Eropa

Sekolah Lanjutan Atas

Algemeene Middelbare School (AMS)

3 Tahun

1919

MULO

Selain Eropa

Hogereburgerschool (HBS)

5 Tahun

1860[1]

ELS

Eropa

 

Kesempatan pendidikan pun masih dirasa tidak adil bagi seluruh penduduk Hindia Belanda. Hal ini terlihat dari tempo dan jenjang pendidikan yang dinilai masih diskriminatif dimana bisa terpaut 2-3 tahun antara kelompok bumiputera dan bangsa eropa. Bagi komunitas eropa[2], mereka bisa mengenyam pendidikan ELS (7 tahun) dan HBS (5 Tahun) dengan total untuk lulus selama 12 tahun. Sedangkan bagi masyarakat kelas atas Indonesia, mereka biasanya melalui HIS (7 Tahun), MULO (4 Tahun), dan AMS (3 Tahun) dengan total 14 Tahun. Bagi masyarakat marginal Indonesia yang beruntung, mereka bisa mengenyam pendidikan melalui Volkschool (3 Tahun), Schakel School (5 Tahun), MULO (4 Tahun), dan AMS (3 Tahun) dengan total 15 Tahun.

 

Pada masa-masa itu, menyelesaikan pendidikan menengah merupakan satu capaian yang tinggi sehingga bukan perkara sulit untuk lulusan pendidikan menengah untuk mendapatkan kemudahan dalam mencari pekerjaan. Selain itu, bagi mereka yang tertarik untuk meneruskan pendidikan pada pendidikan tinggi dan vokasional, terdapat beberapa pilihan pendidikan seperti sekolah kedokteran (STOVIA), Sekolah Hukum (RHS), Sekolah Guru Bantu (HIK), Institut Teknologi (THS), Sekolah Pertanian (Landbouw School), Sekolah Dagang (PHS), dan banyak perguruan tinggi dan sekolah vokasional lainnya.  

 

Di sisi lain, penyelenggaraan pendidikan bagi masyarakat marginal bumiputera disediakan oleh para penggerak intelektual bumiputera di luar skema pendidikan pemerintah. Beberapa pergerakan menciptakan organisasi pendidikan mereka sendiri, seperti Perguruan Rakyat (Volksuniversiteit)[3] (1928), Taman Siswa (1922), Ksatrian Institut (1923), dan Indonesisch Nederlandsch School (1926). Hal ini menunjukan bahwa pada awal abad ke-20, semakin banyak pergerakan-pergerakan nasional yang mengedepankan pendidikan sebagai alat perjuangan untuk menyejahterakan kelompok-kelompok bumiputera yang sudah lama terjebak pada lingkaran kehidupan tanpa pendidikan modern.

 

Dalam konstitusi 1922 Pasal 195 bahwa pendidikan menjadi tugas utama Kerajaan untuk menyediakan pendidikan publik cuma-cuma yang menghargai tiap-tiap latar belakang kepercayaan. Pemerintah wajib menyediakan jumlah sekolah dasar umum dengan jumlah yang cukup untuk setiap wilayah yang seluruh biaya ditanggung oleh pemerintah.  Akan tetapi momentum politik etis sebagai dasar perluasan kesempatan pendidikan bagi semua golongan tidak sejalan dengan kebijakan ekonomi Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Seperti halnya pada tabel 2 menunjukan secara total pengeluaran pemerintah pada bidang pendidikan menyusut tajam dari tahun 1932-1933. Salah satu komponen yang paling berkurang adalah pengeluaran dana pendidikan bagi Sekolah Rakyat yang pada tahun 1932 sebanyak 20 juta Gulden, dan tersisa 3,6 juta Gulden pada tahun 1940. Sedangkan kategori pendidikan lain, termasuk sekolah dasar barat (ELS dan HIS), sekolah lanjutan, vokasional, dan pendidikan tinggi mengalami sedikit penurunan namun tidak ekstrem.

Tabel 2. Pengeluaran Pemerintah Hindia Belanda untuk Pendidikan 1932-1940 (dalam ribuan Gulden)

Sumber: Central Berau of Statistics (1947)

Tahun

Pengeluaran berdasarkan fasilitas pendidikan

Pengeluaran diluar fasilitas pendidikan

Total

Pendidikan Umum

Pendidikan vokasional

Pendidikan tinggi

Sekolah Rakyat

Sekolah dasar barat

Sekolah lanjutan

Total

1932

20369,6

15490,1

8049,6

43909,3

7889,4

7889,4

2381,6

55623,9

1933

19027,9

14191,9

7158,1

40377,9

6689,0

6689,0

2161,4

50197,2

1934

14440,5

11979,7

5845,7

32262,9

4666,1

4666,1

1727,6

39467,2

1935

11493,4

9668,7

4656,7

25817,7

4008,6

4008,6

1822,7

32373,2

1936

10714,7

9360,0

4719,2

24793,9

3488,8

3488,8

1716,0

30717,1

1937

4113,0

9624,7

4888,9

18626,6

3059,3

3059,3

2034,9

24467,9

1938

4230,9

11410,4

6352,4

21983,9

3765,5

3795,5

2882,7

29527,4

1939

3791,9

11920,1

7156,9

22838,9

4360,3

4360,3

3950,2

23125,3

1940

3655,9

12348,2

7690,8

23649,9

5097,8

5097,8

3880,2

33728,0

 

Namun, perluasan kebijakan pemerintah untuk menyediakan pendidikan yang lebih luas bagi banyak orang dan upaya kaum pergerakan intelektual bumiputera untuk menyelenggarakan pendidikan sendiri belum dapat melepas jerat kebodohan bagi khalayak banyak. Hal ini terlihat bahwa tingkat literasi masyarakat Hindia Belanda, terutama bumiputera berada pada jumlah yang mengkhawatirkan. Dari statistik tahun 1930 seperti pada Tabel 3, menunjukan bahwa masyarakat bumiputra memiliki proporsi literasi paling rendah dibandingkan dengan suku bangsa lain. Dimana hanya 10.8 % pria dan 2,2% wanita yang bisa baca. Sangat jauh apabila dibandingkan dengan bangsa Eropa dimana baik laki-laki atau perempuan memiliki tingkat literasi diatas 70%.

 

Tabel 3 Tingkat Literasi berdasarkan Suku Bangsa Tahun 1930 di Hindia Belanda

Sumber:  Central Berau of Statistics (1940)

Jenis Kelamin

Eropa

Indonesia

Tiongkok

Asia Lainnya

Total

Laki-laki

78,6 %

10,8 %

39,5 %

37,5 %

11,9 %

Perempuan

71,2 %

2,2 %

12,4 %

3,9 %

2,6 %

Total

75,2 %

6,4 %

28,9 %

22,4 %

7,2%

 

Jumlah penduduk Hindia Belanda pada tahun 1930 (Central Berau of Statistics, 1940), misalnya, suku bangsa pribumi Indonesia memiliki jumlah 59,138 juta jiwa atau 97% dari total populasi Hindia Belanda. Sedangkan bangsa lain seperti Eropa hanya sebesar 240ribu jiwa atau 0.4% dari total populasi. Dan Bangsa-Bangsa lainnya tidak lebih dari 3% dari total populasi. Hal ini menyebabkan jumlah angka buta huruf di Hindia Belanda sangat besar. Total pada tahun yang sama, 92,8 % penduduk Hindia Belanda tidak bisa baca-tulis. Padahal pada tahun tersebut, umur politis etis sudah hampir memasuki dekade ke-3.

 

Lebih lanjut, dari mereka yang bisa baca tulis terdapat proporsi yang bisa menulis dalam bahasa Belanda dimana dalam seluruh penduduk di Hindia Belanda yang 7,2% nya bisa baca-tulis, diantara masyarakat tersebut hanya 9.3% diantaranya bisa menulis bahasa Belanda. Secara rinci menurut bangsanya adalah: Eropa (95,3%), Indonesia (5%), Tiongkok (11,7%), dan Asia Lainnya (3,8%).  Dalam angka ini juga menunjukan bahwa secara proporsi kelompok pribumi Indonesia tidak dapat memiliki kemampuan untuk menulis bahasa Belanda. Padahal, dalam sistem pendidikan rendah, kecuali Sekolah Rakyat, bahasa pengantar resmi adalah Bahasa Belanda. Bahasa Belanda pun sangat umum digunakan pada surat kabar yang sering beredar di Indonesia yang merupakan salah satu media yang efektif untuk pengembangan ilmu pengetahuan umum, terutama informasi-informasi terkini dan esensial dari Eropa dan wilayah lainnya.

Hal ini menunjukan bahwa cita-cita politik etis untuk menciptakan kesejahteraan pada masyarakat Bumiputera tidak bisa tercapai. Fakhriansyah & Patoni (2019) berpendapat bahwa kebijakan pendidikan yang diterbitkan oleh pemerintahan kolonial Hindia Belanda pada nyatanya hanya diarahkan pada kepentingan politik dan ekonomi bagi mereka. Bahkan menurut Marwati dan Doenod (2008, dalam Fakhriansyah & Patoni, 2019) keberadaan kelompok bumiputera di perguruan tinggi sangat minim yang dimana dalam periode 1920-1929, paling banyak hanya 44 orang keberadaan Bumiputera dalam perguruan tinggi. Bahkan sampai akhir kolonialisme dan awal kemerdekaan, Indonesia hanya memiliki sekitar 400 orang sarjana untuk menggerakkan roda pemerintahan (Gross, 2014). Namun, pendapat lain dari Hesselink (2019, p. 142)  yang menilai bahwa secara khusus dari banyaknya investasi pada STOVIA oleh Pemerintah Hindia Belanda berdampak positif pada semakin banyaknya dokter-dokter Indonesia yang secara langsung meningkatkan jumlah publikasi-publikasi ilmiah pada bidang kedokteran.

Sampai pada titik ini, bisa digambarkan bahwa peran iptek masih dikontribusikan oleh komunitas-komunitas Eropa yang dapat dengan mudah mendapatkan peluang idiosinkratis untuk mendapatkan kesempatan pendidikan yang lebih baik dan posisi jejaring yang lebih mudah dengan pusat-pusat iptek di Eropa. Di sisi yang lain, bangsa Indonesia berada pada tidak posisi ideal untuk memberikan peranan dalam perkembangan iptek di Hindia Belanda karena walaupun sudah memiliki kesempatan mendapatkan pendidikan lebih baik, masih terdapat stratifikasi pendidikan yang membedakan pribumi dan kelas bangsa lainnya.

[1] Sesuai dengan berdirinya HBS pertama di Hindia Belanda, yaitu Koning Willem III School te Batavia

[2] Beberapa orang Indonesia melalui skema ini, seperti Achmad Djajadiningrat (bersekolah sekitar 1880an), Agus Salim (Lulus 1903), dan MH Thamrin. Ernest Douwes Dekkter, Johannes Latuharhary (lulus 1923). Sukarno walaupun lulusan HBS, pada masa pendidikan rendah Sukarno mesti terlebih dahulu melalui Volkschool dan HIS.

[3] Kurniawan (2017) berpendapat bahwa Volksuniversiteit berdiri atas pergerakan nasionalis yang didukung politik etis.

Ilmuwan dan Naturalis

Salah satu pengetahuan populer tentang awal mula kegiatan riset modern dimulai di Hindia Belanda menyatakan bahwa kegiatan riset dimulai oleh Jacob Bontius (1592-1631). Ia melakukan penelitian pada bidang obat-obatan tropis, tumbuhan, dan penyakit di Batavia pada masa-masa genting Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang sedang berupaya menduduki Batavia dan dalam perlawanan dengan Sultan Agung, pangeran Mataram[1].  Jacob Bontius secara aktif mempublikasikan buku-buku pada bidang tersebut, dan beberapa buku setengah jadi dipublikasikan setelah kematiannya. Hal tersebut dianggap menjadi titik awal perkembangan iptek modern di tanah Indonesia.

 

 

Namun tentunya akan sulit untuk menentukan bahwa berarti sebelum masa-masa tersebut tidak ada kegiatan ilmiah dilakukan. Seperti menurut Dittrich (1997) yang menilai bahwa pelukis Belanda, Phillips Angel (1616-1683) sudah lebih dulu melukis badak jawa untuk pertama kali dan menyebarkannya ke eropa sekitar tahun 1630. Hal ini terlihat dari lukisan Philips yang identik dengan ilustrasi yang dimuat dalam buku “Historia Naturalis et Medicae Indiae Orientalis” karya Jacob Bontius pada tahun 1658. Selain itu, asumsi Jacob sebagai peneliti pertama di Hindia Belanda bisa mengecilkan peran perkembangan iptek melalui penelitian oleh Bangsa-Bangsa di Nusantara terdahulu. Seperti apa yang disebut oleh Boomgaard (2008) bahwa terdapat salah persepsi yang biasa dianggap bahwa bangsa barat selalu menjadi pihak yang mentransfer teknologi dan pengetahuan pada bangsa timur. Padahal sejak lama ada transfer pengetahuan pada sesama bangsa asia, bahkan dari bangsa timur ke barat. Oleh karenanya, sangat wajar apabila  Gross, (2014, p. 48) menilai bahwa sampai pada masa akhir kolonialisme, sebagian besar kaum elit Belanda dengan ‘arogan’ menganggap pribumi sebagai pihak yang memiliki pengetahuan yang ‘terbelakang’ dan sangat menganggungkan tingginya derajat pengetahuan eropa.

Namun, pada praktiknya akan dibenarkan untuk menganggap penelitian modern akan banyak dilakukan oleh peneliti berbangsa Eropa. Dari hasil penelusuran database SCOPUS, terdapat 133 penulis yang menghasilkan 201 artikel ilmiah di Indonesia tahun 1849-1940. Dr. D. R. Koolhaas merupakan ilmuwan yang paling banyak menghasilkan artikel ilmiah terkait penelitian di Indonesia. Ia menghasilkan 11 artikel ilmiah pada tahun 1930 – 1940. Koolhas adalah seorang pakar dalam bidang chemistry, chemical engineering, biochemistry, genetics and molecular biology, pharmacology, toxicology and pharmaceutics berkebangsaan Belanda. Pada tahun 1930-1932 Koolhaas melakukan penelitian mengenai essential oil di Phytochemisch Laboratorium dalam lingkungan Kebun Raya dan balai penelitian yang tergabung dalam Algemeen Proefstation voor de Landbouw (Balai Besar Penyelidikan Pertanian) melebur diri kedalam Analytisch Laboratorium, dan gabungan menamakan diri sebagai Laboratorium voor Scheikundig Onderzoek pada tahun 1934. Koolhaas menjabat sebagai Kepala Laboratorium voor Scheikundig Onderzoek pada tahun 1933 – 1939 (Kemenperin, 2021). Sebagian besar penelitian yang dilakukan Koolhaas mengenai penemuan essential oils dari tanaman seperti Eryngium foetidum, Hydnocarpus heterophylla, Litsea cubeba (Lour.) Pers., Aleurites trisperma.

Tabel 4. 10 besar ilmuwan yang menghasilkan artikel ilmiah terbanyak terkait penelitian iptek di Indonesia tahun 1849-1940

Source: Scopus Database, July 2021

 

Authors

Subject Areas

Number of articles

Koolhaas, D. R.

Chemistry, Chemical Engineering, Biochemistry, Genetics and Molecular Biology, Pharmacology, Toxicology and Pharmaceutics

11

Gorter, K.

Pharmacology, Toxicology and Pharmaceutics, Chemistry, Biochemistry, Genetics and Molecular Biology

10

Krijgsman, B. J.

Neuroscience, Medicine, Agricultural and Biological Sciences, Biochemistry, Genetics and Molecular Biology, Immunology and Microbiology

8

Posthumus, K.

Chemistry

7

Bonne, C.

Chemistry

6

Meijer, Th. M.

Chemistry, Chemical Engineering, Biochemistry, Genetics and Molecular Biology, Pharmacology, Toxicology and Pharmaceutics

5

Koumans, A. K. J.

Medicine, Pharmacology, Toxicology and Pharmaceutics, Environmental Science, Immunology and Microbiology

5

Kreiken, E. A.

Physics and Astronomy, Earth and Planetary Sciences

5

Sitsen, A. E.

Medicine, Biochemistry, Genetics and Molecular Biology

4

van Veen, A. G.

Chemistry, Biochemistry, Genetics and Molecular Biology

4

 

Selain penulis produktif di atas, tulisan ini menilai bahwa peran Prof. Melchior Treub menjadi esensial dalam perkembangan iptek di Indonesia, terutama dalam memperkenalkan Buitenzorg Scientific Centre (BSC), atau yang biasa dikenal dengan sebutan Buitenzorg Botanic Gardens/Bogor Botanical Gardens, pada ranah internasional. Ia adalah seorang ahli botani berkebangsaan Belanda yang merupakan lulusan doktor dari Universitas Leiden. Treub menemukan beberapa jenis Lycopod baru serta melakukan budi daya dengan harapan seluruh aspek embriologi nya dapat terungkap. Treub dipercaya untuk menjadi direktur BSC tahun 1880-1910 yang langsung membangun citra sebagai lembaga ilmiah ilmu alam tropis kepada para ilmuwan di Eropa. Melalui posisi pentingnya, ia membangun ruang-ruang fisik untuk mengadakan penelitian ilmu alam tropis seperti perpustakaan, ruang kerja, dana hibah, residensi peneliti tamu, dan prasarana seperti mikroskop, bahan-bahan kimia, dan pembuatan katalog. Sebelum Treub, beberapa aset yang dimiliki BSC tidak terurus. Semua koleksi herbarium sebelum 1844 dibawa ke Belanda, termasuk beberapa contoh spesies di Jawa yang ditemukan dan dinamai oleh Carl Ledwig Blume pada awal abad 19. Melalui kepemimpinannya, BSC berkembang menjadi sebuah institusi ilmiah professional dengan pengetahuan alam tropis dengan berbagai jenis spesies di dalamnya. Menurut Gross (2014, p. 119) bahwa keberhasilan Kebun raya membuat iri para botanikus di dunia dengan lembaga yang menjadi pusat lingkaran ilmu pengetahuan botani. Namun sayangnya capaian itu tidak pernah diraih kembali sampai era pemerintahan Hindia Belanda berakhir, bahkan sampai saat ini dibawah pemerintahan Republik Indonesia.

Walaupun tidak menjadi dominan aktor, beberapa nama ilmuwan bumiputra muncul pada artikel-artikel ilmiah yang diterbitkan tahun 1849-1940 antara lain Raden Soehadi Koesoemohadipoetro yang merupakan peneliti bidang kedokteran di Niederlandisch-Indischen Arzteschule in Soerabaja/NIAS[2]. Selain itu, Sutomo Tjokronegoro yang merupakan profesor patologi pertama di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI) tahun 1950. Ia dikenal sebagai Bapak Patologi di Indonesia yang meneliti penyakit kanker. Sutomo menerima gelar kedokteran di Batavia Medical School tahun 1935. Ia mengajar bidang patologi, kedokteran forensik, dan penyakit dalam. Sutomo menerbitkan artikel di jurnal Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch Indië (jurnal Kedokteran Hindia Belanda) yang merupakan jurnal kedokteran terpenting di Indonesia pada masa penjajahan Belanda. Sutomo menerbitkan artikel mengenai kedokteran forensik, kanker, ulcer, dan tuberkulosis. Tahun 1942, ia menjadi editor pada jurnal tersebut (Pols, 2017). Sutomo juga menulis buku yang berjudul “Tjukupkah Saudara Membina Bahasa Kesatuan Kita?”, “Beberapa hal tentang Ilmu Dokter Kehakiman”. Selain itu, M. Soewarno merupakan ilmuwan Indonesia yang menghasilkan artikel ilmiah pada tahun 1930 mengenai plumbum poisoning. Ia lulus dari STOVIA pada tahun 1920 kemudian bergabung dengan Niederlandisch-Indischen Arzteschule in Soerabaja/NIAS. Semasa studi di STOVIA, Soewamo aktif dalam pergerakan bersama teman-temannya sesama pelajar sekolah kedokteran pribumi dan terrnasuk salah satu pendiri perhimpunan Boedi Oetomo (Dahlan, 2017).

Fakta penulis bumiputra di bidang medis ini selaras dengan publikasi GTNI, peran penulis bumiputera[3] dalam artikel jurnal khusus masalah medis tersebut bisa dilihat lebih banyak. Hesselink, 2019 (p. 120) menghitung dari 4500 artikel yang dimuat dalam 80 edisi ilmiah terdapat 12% tulisan yang ditulis oleh dokter bumiputera yang jumlahnya sebanyak 195 penulis. Dari 195 Penulis Bumiputra terdapat penulis yang memiliki jumlah publikasi diatas 10 artikel diantaranya Raden Mas Sardjito (29 artikel), Mochtar (25 artikel), Raden Soesilo (23 artikel), Mohamad Amir (22 artikel), Mas Soetopo (11 artikel). Selain itu ada dua orang penulis keturunan Tiongkok diantaranya Sie Boen Lian (15 artikel) dan Loe Ping Kian (14 artikel).

 

Sebagian besar peneliti bumiputera adalah dokter yang melakukan penelitian-penelitian medis. Hal ini tidak terlepas dari kebijakan Pemerintah Hindia Belanda dan upaya perang melawan berbagai macam wabah seperti Kolera, Kusta, Hernia, Flu Spanyol dan Frambusia Tropika. Investasi dan pengembangan pada institusi pendidikan yang lebih luas untuk kelompok bumiputera seperti STOVIA memungkinkan lebih banyak dokter-dokter non-eropa dihasilkan. Selain itu kebutuhan sumber-sumber riset yang mendesak tidak bisa dipenuhi mengingat pusat penelitian dan pengembangan khusus penyakit tersebut masih sangat minim ditemukan di Indonesia dan penguasaan pengetahuan medis yang masih terbatas.

[1] Berdasarkan pidato dr. Von Römer melakukan dalam peringatan 300 tahun kematian Jacob Bontius yang diselenggarakan oleh Medische Hogeschool pada bulan Desember 1931 (De locomotief, 1931).

[2] Sekolah kedokteran yang didirikan pada tanggal 1 Juli 1913 di Surabaya, Jawa Timur. Tujuan didirikannya NIAS ialah untuk mendidik dokter-dokter yang dapat langsung bekerja melayani kesehatan masyarakat. NIAS kemudian berganti nama menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK UNAIR) pada tahun 1950 (UNAIR, 2018)

[3] Untuk menentukan definisi Penulis Bumiputra nampaknya sedikit sukar. Cara termudah dan masuk akal seperti apa yang dilakukan oleh Hesselink (2019) dengan menyaring publikasi berdasarkan nama yang dimana sangat mudah membedakan nama Eropa, Indonesia, Arab, dan Tiongkok. Namun hal ini mengindahkan orang-orang Indo-Belanda, Beberapa nama Indonesia di wilayah Timur, atau orang non-Eropa yang sengaja memakai nama Eropa dalam penulisan. Pada tulisan itu, terutama dalam membagi kontribusi perkembangan Iptek oleh orang Indonesia akan meniadakan asumsi-asumsi tersebut.

 

Organisasi dan Tren Riset Penelitian

Secara umum, organisasi litbang di Indonesia yang memiliki sejarah panjang dapat dipetakan dari berbagai sudut pandang.  Inisiasi lembaga litbang di Indonesia tidak lepas dari para apostel pencerahan yang memiliki misi untuk mencerdaskan masyarakat kolonial. Seperti apa yang disebut oleh Gross (2011, p. 14) bahwa sejak pertengahan abadi ke-19 komunitas iptek terbagi pada dua kubu yaitu peneliti amatir dan peneliti yang berada pada organisasi pemerintahan. Sehingga, untuk melihat hal tersebut, penelitian ini membagi organisasi riset pada dua bagian, yaitu berdasarkan kepemilikan organisasi yang dapat dilihat sebagai litbang independen dan teknokratik.

 

Litbang independen yang biasanya terdiri dari peneliti amatir sudah menjamur sebelum pemerintah Hindia Belanda secara resmi mendirikan lembaga litbang. Kuantitas entitas litbang independen pun sering berada dalam skala kecil dan berumur ringkas. Sebagian besar dari organisasi-organisasi tersebut merupakan komunitas masyarakat iptek dan seni yang tidak permanen yang diinisiasi oleh segelintir orang.  Inisiasi lembaga litbang independen pertama kali oleh semangat dari J.M. Mohr yang membuat observatorium untuk mengamati Venus pada tahun 1761. Walaupun ia tidak mendapat pengakuan resmi dari VOC, semangatnya menuntun J.C.M. Radermacher untuk membuat organisasi riset pertama yang bernama Masyarakat Seni dan Sains Batavia (Bataviaasch Genootschap voor Kunsten en Wetenschappen) pada tahun 1778 yang berdiri selama sebelas tahun. Pada awal abad ke-20 salah satu komunitas ilmiah terbesar berdiri dan bertahan, seperti Asosiasi Sejarah Alam Hindia Belanda (Nederlandsch-indische natuurhistorische Vereeniging) yang menerbitkan secara berkala Jurnal Alam Tropis (De Tropische Natuur) sampai akhir pemerintahan Hindia Belanda.

 

Selain itu, organisasi pergerakan Bumiputera seringkali digerakkan oleh kelompok intelektual walaupun tujuan utamanya tidak untuk memproduksi pengetahuan dan teknologi. Seperti, Boedi Oetomo, percaya bahwa membawa pengetahuan barat dan praktiknya diantara masyarakat Bumiputera dapat membantu tujuan mereka untuk melepaskan diri dari cengkraman kolonialisme Belanda (Gross, 2011, p. 10). Organisasi ini kelak tumbuh dan menginspirasi pergerakan intelektual lainnya untuk berkontribusi untuk memperkenalkan iptek pada masyarakat Bumiputera sebagai agen apostel pencerahan Pribumi, terutama dalam membuat kegiatan-kegiatan pendidikan dan kelompok-kelompok diskusi, seperti Klub Studi Umum (Algemeene Studieclub), Kelompok Studi Indonesia (Indonesische Studieclub), Himpunan Pelajar Wanita Indonesia (Indonesische Vrouwelijke Studenten Vereeniging), dan Perhimpunan Indonesia (Indische Vereeniging). Tujuan-tujuan organisasi tersebut memiliki persamaan sebagai media perjuangan intelektual bagi kaum terpelajar Bumipetra yang pada akhirnya secara kumulatif menjadi posisi pentung sebagai alat perjuangan kemerdekaan Indonesia.

 

Di sisi lain, lembaga litbang milik Pemerintah Hindia Belanda dimulai pada tahun 1820 ketika C.G.C Reinwardt membuat Komimsi Sejarah Alam (Natuurkundige Commissie) atas perintah Raja Willem I untuk menyelidiki pengembangan potensi sektor agricultural di tanah jajahan. Pada saat itu BSC, pada saat itu bernama Lands Plantentuin te Buitenzorg, sudah berumur tiga tahun namun belum melakukan fungsi riset. Pada dekade setelahnya, sebagian aktivitas BSC adalah mengumpulkan spesies tumbuhan dan mengembangkan katalog. Pada 1852, BSC menginisiasikan Cibodas Botanical Gardens sebagai laboratorium dan pusat eksperimental yang berpengaruh pada penelitian dalam perkembangan penelitian economic plant (Ariati & Widyatmoko, 2017, p. 11). Pada periode yang tidak begitu jauh, beberapa instansi yang berhubungan pada bidang pertanian berada pada wilayah Buitenzorg didirikan seperti laboratorium riset kimia, stasiun uji coba kehutanan, Bibliotheca Bogoriensis (Pusat Perpustakaan), dan laboratorium Treub (Kementan, 2021)

 

Sedangkan, Organisasi Litbang dalam bidang medis dan farmasi secara aktif melakukan fungsi litbang, pada tahun 1890 didirikan Lembaga Pengembangan Vaksin Negara, Parc Vaccinogen Instituut Pasteur atau lebih dikenal sebagai dengan Pasteur Institute, sebagai salah satu lembaga milik Pemerintah Hindia Belandadan kerjasama dengan lembaga publik milik Lois Pasteur yang fokus pada penelitian biologi, mikroorganisme, penyakit, dan pengembangan vaksin. Lembaga ini beserta cabang-cabang perusahaan Pasteur Intitute di berbagai negara telah membuat ratusan ribu vaksin pada perang dunia pertama yang dibutuhkan untuk melindungi tentara untuk melindungi demam typhoid. Selain itu, pada tahun 1888, didirikan Laboratorium Pusat untuk pelayanan kesehatan Publik Laboratorium (Geneeskundig Laboratorium), berganti nama menjadi Eijkman Institute yang fokus pada penelitian penyakit dan medis.

 

Selain itu, universitas dan lembaga pendidikan yang memiliki fungsi penelitian. Universitas merupakan salah satu aktor penting dalam ekosistem riset dimana dapat menghasilkan penelitian melalui tenaga pendidik dan mahasiswa (C Pandey & Pattnaik, 2015, p. 174). Pada masa fungsi riset pada universitas secara aktif menghasilkan publikasi-publikasi sentral. Dimulai dengan Java Medical School pada Januari 1851 di Weltevreden, sekarang dikenal sebagai Rumah Sakit Militer Gatot Subroto. Para dokter Jawa pada saat itu hanya berharap bisa mengatasi penyakit cacar. Kemudian, pada tahun 1901, pelatihan medis dokter Jawa dipisahkan dari rumah sakit militer Weltevreden di Hospitaalweg, sekarang dikenal sebagai Jalan Dr. Abdul Rahman Saleh. Akhirnya, pada tahun 1919, School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) dipindahkan ke Burgelijke Ziekeninrichting Centrale (CBZ) atau sekarang National Center for Public Hospital (NCPH) Cipto Mangunkusumo. Langkah ini terjadi karena pendidikan kedokteran di Indonesia sudah maju dan membutuhkan ruang yang lebih luas. Pada tanggal 5 Juli 1920, semua kegiatan pengajaran dipindahkan ke Salemba 6 yang merupakan cikal bakal berdirinya Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI). FK UI merupakan fakultas kedokteran tertua di Asia Tenggara (UI, 2010). Sentralnya fungsi lembaga pendidikan, terutama pada bidang kedokteran, secara tidak langsung mempengaruhi fungsi riset pada bidang pelayanan kesehatan. Beberapa peneliti pada rumah sakit di Indonesia, misalnya, memiliki fungsi penelitian yang aktif bahkan pada bidang ini banyak peneliti-peneliti Bumiputera yang memiliki kontribusi pada perkembangan iptek Indonesia.

 

Sedangkan cikal bakal dari organisasi riset yang menaungi banyak lembaga organisasi litbang di Hindia Belanda dimulai dari pembentukan Dewan Riset Hindia Belanda (Natuurwetenschappelijk Raad voor Nederlandsch Indie) yang berdiri pada tahun 1927[1]. Dalam pengumuman pemerintah yang diterbitkan oleh De locomotief (1927) alasannya dibentuk Dewan Riset ini  adalah:

 

“Pemerintah telah berulang kali merasakan kurangnya badan pusat di bidang ilmu alam, yang secara luas dibentuk dalam hal bidang kegiatan, begitu ilmiah dalam komposisi dan kedudukan resmi sedemikian rupa sehingga dapat bertindak sebagai representasi tertinggi dari dunia ilmiah alam di Hindia Belanda vis-à-vis Belanda dan luar negeri.”

 

Tujuan Dewan Riset Hindia Belanda adalah sebagai Badan penasehat pemerintah di bidang ilmu alam, Pusat kerjasama para praktisi ilmu alam di Hindia Belanda, Ikatan asosiasi antara peneliti di Hindia Belanda dan negara lain, dan lembaga yang menentukan Arah kemajuan penyelidikan dan usaha ilmiah yang hanya dapat dicapai melalui kerjasama peneliti ilmu alam dan pemerintah. Dewan ini terdiri dari perwakilan organisasi-organisasi riset yang sudah ada dan sejauh mungkin mencakupi sebanyak mungkin ilmu alam yang tunjuk oleh gubernur jenderal. Seluruh pembiayaan ditanggung oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan jumlah NLG 2.500 setahun untuk perlengkapan kantor, biaya pencetakan dan personal.

 

Dari jumlah organisasi-organisasi tersebut berkontribusi pada produktivitas penelitian, salah satunya adalah melalui artikel ilmiah yang diterbitkan. Dalam database Scopus (Gambar 1), publikasi yang dihasilkan penulis dengan afiliasi Hindia Belanda menunjukan tren kenaikan yang fluktuatif. Dalam 201 buah artikel yang berada dalam database SCOPUS, menunjukan sejak tahun 1922, tren publikasi yang dihasilkan cenderung naik, walau pada beberapa titik terdapat penurunan publikasi.  Puncak publikasi yang dihasilkan berada pada jumlah tertinggi pada tahun 1930, dan kembali naik dan turun hingga tahun 1940. Hal ini menunjukan bahwa aktivitas riset mendapatkan tempat yang populer bagi ilmuwan di Hindia Belanda terutama sejak awal ke-20.

Gambar 1. Perkembangan publikasi ilmiah Indonesia pada masa pemerintahan Hindia Belanda tahun 1849-1940

Sumber: Scopus Database, July 2021

Begitu pula dengan tren berdasarkan keilmuan yang mengalami perubahan dinamika yang menarik. Seperti pada Gambar 2, Pada sebelum tahun 1900 hampir tidak ada bidang ilmu yang dominan, hanya bidang Industri dan ilmu kimia dan kedokteran yang sedikit lebih unggul. Pada periode 1901-1920 publikasi dengan konsentrasi farmasi mengalami kenaikan yang signifikan terlepas dari Industri dan Ilmu Kimia tetap menjadi konsentrasi ilmu yang dominan. Hingga pada periode tahun 1921-1940, bidang ilmu pada publikasi ilmiah mengalami heterogenitas dimana Biologi, Industri dan Ilmu Kimia, dan Kedokteran berkontribusi lebih dari 60% dari semua total publikasi Hindia Belanda pada database Scopus. Selain itu, bidang-bidang lain seperti Sosial Humaniora, Psikologi, Astronomi, dan Ilmu Teknik mengalami jumlah kenaikan publikasi yang signifikan.

Gambar 2. Perkembangan publikasi ilmiah Indonesia berdasarkan subject area pada masa pemerintahan Hindia Belanda tahun 1849-1940

Sumber: Scopus Database, July 2021

Baik penulis Eropa dan Indonesia pada dasarnya tidak ada perbedaan mencolok dari publikasi kedokteran yang dihasilkan. Dari 195 penulis Bumiputera dalam jurnal GTNI menunjukan hampir semua penulis menulis topik tentang ilmu kedokteran modern, dan hanya sedikit yang membahas tentang pengobatan tradisional[2] (Hesselink, 2019, p. 123). Padahal minat Belanda pada pengobatan tradisional, terutama obat-obatan tropis memulai kegiatan iptek di Indonesia melalui aktivitas Jacob Bontius (1592-1631). Tantangan penyakit yang semakin banyak, dan kemajuan iptek dalam diagnosis dan pengobatan, serta pendidikan kedokteran yang didasari oleh pengetahuan medis barat menyebabkan bisa jadi menyebabkan teralihkannya minat-minat ilmuwan kedokteran Hindia Belanda untuk memperkaya ilmu tradisional.

Sedangkan produksi publikasi ilmiah berdasarkan organisasi litbang memiliki porsi yang beragam. Namun sebagian besar adalah lembaga litbang milik pemerintah. Seperti pada Gambar 1, BSC adalah lembaga yang paling banyak memproduksi artikel ilmiah adalah BSC dengan 51 artikel.   Selain BSC, Pasteur institute dan Eijkman Institute secara umum memproduksi artikel ilmiah dengan jumlah 19 artikel. Institusi pendidikan seperti STOVIA dan NIAS, memproduksi 26 artikel. Litbang lain seperti Butenzorg Rubber Research Center, Tobacco Research Center Klaten, Pathological Laboratory East Coast of Sumatra, dan Government Laboratory for Pest Research secara kumulatif memproduksi 17 artikel. Jumlah lembaga riset yang terlibat dalam artikel-artikel tersebut terdiri dari XX organisasi.

 

 

Gambar 3. Sembilan besar Institusi riset yang menghasilkan artikel ilmiah terbanyak terkait penelitian iptek di Indonesia tahun 1849-1940

Source: Scopus Database, July 2021

Lebih detail, dari hasil analisis judul dan abstrak pada artikel ilmiah yang dikumpulkan dari database SCOPUS, terjaring 315 keywords mengenai penelitian iptek di Indonesia tahun 1849-1940 (Gambar 4). Visualisasi tersebut memperlihatkan bahwa penelitian pada tahun 1849-1940 masih terpusat di pulau Jawa dan Sumatera. Penelitian yang dilakukan di pulau Jawa terfokus pada bidang biology, medical science, pharmacy, and social humanities. Hal tersebut ditandai dengan adanya BSC yang memiliki banyak laboratorium untuk penelitian botani, perkebunan, pertanian, chemical dan zoologi. Para ilmuwan pada masa tersebut sangat tertarik melakukan penelitian mengenai coffee, essential oils, tea leaf, tea pests, lycophods, trypanosoma evansi, bloodsucking Arthropods, castilla elastica, chlorogenic acid, etc.

Selain itu, pulau Jawa memiliki sekolah kedokteran yang STOVIA di Batavia dan NIAS Surabaya yang merupakan sekolah kedokteran yang banyak melakukan penelitian di bidang biology, chemical, medical science, and pharmacy. Beberapa kata kunci penelitian yang dilakukan di kedua tempat tersebut antara lain gastric cancer, lung cancer, stomach cancer, pathology, beriberi disease, gastric tumor, malaria, antineurotic vitamin, ligation of the coronary arteries, Javanese monkeys, dan graves’ disease.

 

 

Gambar 4. Keyword artikel ilmiah penelitian di Indonesia tahun 1849-1940

source: SCOPUS database, July 2021

[1] Dibentuk dan direalisasikan pada tahun anggaran 1928

[2] Mas Asharie menulis tentang alat pada dukun sunat dan S. Wiroreno menulis kasus Limpa yang berasal dari praktek pijit tradisional

 

Kesimpulan

Penelitian ini menjawab sejarah panjang perkembangan iptek Indonesia di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Dinamika kebijakan pendidikan berpengaruh terhadap terciptanya sumber daya iptek yang berkualitas dan membangun tren-tren penelitian yang beraneka ragam. Secara umum, penelitian ini menjawab empat buah hasil.

Pertama, perkembangan iptek Indonesia tidak lepas dari pengaruh kebijakan pendidikan Hindia Belanda sebagai salah satu sektor dalam memproduksi suplai SDM Iptek di Indonesia. Walaupun terdapat kebijakan politik etis yang membuat pendidikan lebih inklusif bagi orang banyak, Pemerintah Hindia Belanda masih memiliki dilematis untuk memberikan pelayanan pendidikan yang sama rata bagi semua suku bangsa. Hasilnya, suplai SDM Iptek lebih banyak dihasilkan dari Bangsa Eropa dan beberapa bagian dari kelompok bangsawan dan elit Bumi Putera. Orang-orang ini yang kelak menjadi penentu dalam perkembangan iptek di Indonesia.

Kedua, sesuai dengan sistem pendidikan yang tidak benar-benar inklusif, ilmuwan yang lahir adalah orang-orang berbangsa eropa. Mereka memiliki keuntungan yang lebih baik dalam mengenyam pendidikan dan akses informasi pada perkembangan Iptek di Eropa yang lebih baik. Jajaran peneliti paling produktif pada saat itu adalah bangsa Eropa, dan hanya sedikit yang merupakan Bumiputera. Para ilmuwan Bumiputera mengambil peran dalam perkembangan iptek pada bidang medis dan kedokteran dimana didukung pada sekolah kedokteran khusus Bumiputera seperti STOVIA dan NIAS.

Ketiga, Organisasi Riset milik pemerintah menjadi kekuatan paling besar dalam perkembangan iptek di Indonesia. Iptek di-stir berdasarkan kebutuhan dan keinginan Pemerintah Hindia Belanda semata. Penulis dari organisasi riset pemerintah menjadi penulis yang paling banyak menghasilkan artikel ilmiah. Sedangkan komunitas iptek yang independen semakin kecil perannya pada awal abad ke-20. Hal mencolok pada periode ini adalah munculnya organisasi dan kelompok intelektual Bumiputera dalam misi mencerahkan kehidupan masyarakat marginal melalui pengetahuan eropa untuk dijadikan alat perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia.

Keempat, Tren penelitian semakin banyak dan kaya setelah tahun 1920an. Selain itu, bidang ilmu semakin beragam yang sebelumnya fokus pada ilmu dasar, pada tahun tersebut sudah banyak penelitian aplikatif, seperti farmasi dan kedokteran. Perkembangan iptek mencapai masa jayanya pada tahun 1920-1940an ketika ekosistem iptek di Indonesia mulai terbentuk. Hingga akhirnya masa Pemerintah Hindia Belanda, setidaknya telah mewariskan lembaga, fasilitas riset, dan sumber daya Bumiputera sebagai fondasi awal ekosistem Iptek bagi Pemerintah Republik Indonesia.

Namun, ada beberapa batasan yang perlu ditindaklanjuti pada penelitian lainnya. Sebuah hasil penelitian tidak semata-mata dijawab oleh hasil publikasi penelitian, beberapa berupa paten dan produk inovasi. Penelitian ini masih membatasi sebuah produk iptek pada hasil penelitian berupa publikasi ilmiah. Selain itu publikasi ilmiah pada periode tersebut sebagian besar merupakan publikasi lokal yang tidak terindeks pada database publikasi seperti Scopus. Sebuah gambaran pada penelitian ini merupakan representasi dengan scoups sebagai sampel yang jumlah populasi nya sukar untuk diukur. Sehingga perlu dilakukan penelitian kuantitatif lebih dalam untuk menapai informasi yang lebih baik.

 

Referensi

Alian. (2012). Metodologi Sejarah Dan Implementasi Dalam Penelitian. Criksetra, 2(2), 1–17.

Ariati, S. R., & Widyatmoko, D. (2017). Bogor Botanic Gardens. The Journal of Botanic Garden Horticulture, 17, 11–28.

Bandur, A. (2019). penelitian Kualitatif Nvivo 12 Plus: Vol. I. Mitra Wacana Media.

Bingham, A. (2010). “The digitization of newspaper archives: Opportunities and challenges for historians.” Twentieth Century British History, 21(2), 225–231. https://doi.org/10.1093/tcbh/hwq007

Boomgaard, P. (2008). Technologies of a trading empire: Dutch introduction of water- and windmills in early-modern Asia, 1650s-1800. History and Technology, 24(1), 41–59. https://doi.org/10.1080/07341510701616915

Bowie, D. (2019). Contextual analysis and newspaper archives in management history research. Journal of Management History, 25(4), 516–532. https://doi.org/10.1108/JMH-01-2018-0007

Buckley, P. J. (2016). Historical Research Approaches to the Analysis of Internationalisation. Management International Review, 56(6), 879–900. https://doi.org/10.1007/s11575-016-0300-0

C Pandey, S., & Pattnaik, P. N. (2015). University Research Ecosystem: A Conceptual Understanding. Review of Economic and Business, 8(1), 169–181.

Central Berau of Statistics. (1940). Pocket Edition of the Statistical Abstract of the Netherlands Indies 1940.

Central Bureau of Statistics. (1947). Statistical Pocket Book of Indonesia 1941.

Dahlan, J. (2017). M. Soewarno.

De Angelino, A. D. . (1931). Colonial Policy: Vol. II.

De locomotief. (1927, May 20). NATUURWETENSCHAPPELIJKE RAAD: Centraal orgaan van Indische wetenschappelijke instellingen.

De locomotief. (1931, December 3). De Bontius-Herdenking (1631-1931): Onvermoeid Geneesheer en Verlicht Geleerde.

Dittrich, L. (1997). The First Painting of a Javan rhinoceros in Europe. Zoology, 67(2), 151–154.

Fakhriansyah, M., & Patoni, I. R. P. (2019). Akses Pendidikan bagi Pribumi pada Periode Etis (1901-1930). Jurnal Pendidikan Sejarah, 8(2), 122–147. https://doi.org/10.21009/jps.082.03

Garraghan, G. J. (1957). A Guide To Historical Method. Fordham University Press.

Gottschalk, L. (1975). Mengerti Sejarah: Pengantar Metode Sejarah. UI Press.

Gross, A. (2011). The Floracrats: State-Sponsored Science and the Failure of the Enlightenment in Indonesia. The University of Wisconsin Press. https://doi.org/10.1353/tech.2012.0003

Gross, A. (2014). Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan: Dari Hindia Belanda Sampai Orde Baru. Komunitas Bambu.

Herlina, N. (2020). Metode Sejarah. In Journal of Chemical Information and Modeling (Vol. 53, Issue 9). Satya Historika.

Hesselink, L. (2019). Para Penulis Hindia. In Gelanggang Riset Kedokteran di Bumi Indonesia: Jurnal Kedokteran di Hindia Belanda 1852-1942 (pp. 113–143).

Hill, M., & Hupe, P. (2002). Governance and Managing Implementation. In Implementating Public Policy (pp. 160–195). SAGE Publications Ltd.

Kemenperin. (2021). Sejarah Balai Besar Industri Agro. http://www.bbia.go.id/hal-sejarah.html

Kurniawan, P. W. (2017). Sejarah Berdirinya Perguruan Rakyat (Volksuniversiteit) 1928 Di Jakarta. Historia, 5(1), 15. https://doi.org/10.24127/hj.v5i1.729

Laely, N. (2018). Sistem Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda Di Onderafdeling Bonthain 1905-1942. Jurnal Pendidikan, 3, 1–20.

Miller, H. T., & Demir, T. (2007). Policy Communities. In Handbook of public policy analysis: theory, politics, and methods (pp. 137–148). CRC Press. https://doi.org/978-1-57444-561-9

Nugroho, R. (2014). Public Policy (Fifth). Elex Media Komputindo.

Pols, H. (2017). Founders of Indonesia’s health and research institutes were prolific academic writers.

Sukmana, W. J. (2021). Metode Penelitian Sejarah. Seri Publikasi Pembeajaran, 1(2), 2–5.

Suratminto, L. (2013). Educational Policy in the Colonial Era. Historia: Jurnal Pendidik Dan Peneliti Sejarah, 14(1), 77. https://doi.org/10.17509/historia.v14i1.1923

Susilo, A., & Isbandiyah, I. (2018). Politik Etis Dan Pengaruhnya Bagi Lahirnya Pergerakan Bangsa Indonesia. HISTORIA, 6(2), 403. https://doi.org/10.24127/hj.v6i2.1531

  1. (2010). Happy 90th Birthday of FKUI’s Building.

UNAIR. (2018). Sejarah Pendidikan Kedokteran di Surabaya.

Wasino, & Hartatik, E. S. (2018). Metode Penelitian Sejarah Dari Riset Hingga Penulisan. Magnum Pustaka Utama, 153.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *