Uri bicaranya seperti kumur-kumur, daya ingatnya lemah, wajahnya cekung, dan ucapannya selalu menggelitik. Wajar saja banyak orang mencemoohnya, si Uri yang berumur dua puluh delapan tahun asli Mampang.
Di samping semua kelemahan nya, ada hal-hal yang membuat semua orang kagum, seperti,
Uri itu sayang Ibunya.
Ketika ibunya terbaring di rumah sakit dan tidak ada saudara yang menjenguk, Uri adalah anak yang setia menunggu di samping ranjang Ibunya. Pula ketika sanak saudara Ibunya ramai-ramai bicara tentang harta warisan, Uri adalah orang yang tidak meminta. Ia yang menangis lirih siang-malam, suatu hari nanti, ketika Ibunya minggat lebih dulu.
Uri itu seperti robot.
Karena Uri sayang Ibu, ia selalu bangun lebih pagi dari orang rumah. Mencuci piring, mengepel, lalu ke Masjid untuk Shalat Subuh. Kegiatan itu terulang setiap harinya. Apa yang ibu minta, tak pernah-lah Uri menolak. Uri akan melakukan itu sampai esok, dan esok-esoknya.
Uri itu tidak bohong.
Dari tiap-tiap kata tidak bermakna keluar dari mulutnya, itulah apa adanya. Tidak pernah ia sekalipun menyisipkan kata-kata kiasan, basa-basi, atau yang membuat kenyataan lebih halus. ia tidak pernah berbohong, sekalipun.
Uri itu tidak dendam.
Tiap saat, orang-orang punya alasan untuk menyudukan, menyindir, meremehkan, dan menghina. Orang-orang itu tidak sepenuhnya salah, karena memang benar itulah Uri. Tempo hari ketika ibunya menyuruh Uri untuk membelikan rokok-rokok untuk dijual kembali. Pedagang nakal menjual dengan harga mahal karena Uri tidak begitu paham dengan hal itu. Ketika tahu, bahwa ia dikerjai, tidaklah dia dendam. Esok harinya ia kembali dan tidak mempersalahkan. Lalu dikerjai lagi.
Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 25 Juni 2014
Leave a Reply