Selai Kangkung

“Coba lihat ini peralatan elektronik yang sangat modern. Dibuat di Eropa dan mendarat di tanah Hindia. Tapi tetap digunakan oleh bangsa-bangsa Eropa. Bukan kita ! Kipas listrik ini misalnya, mereka tidak perlu lagi membeli kipas-kipas bambu kita. Siapa yang menyuruh mereka tinggal disini? di tanah yang bahkan tidak pernah ada salju. Lalu mereka yang rindu dinginya es bisa menikmati makanan melalui kulkas ini. Seingat ku benda terdingin adalah rel kereta api di waktu subuh. Tapi ini jauh lebih dingin. Jadi mereka berlayar ribuan kilometer tidak ingin benar-benar tinggal disini maka mereka membawa Eropa dalam bentuk yang paling sederahana: teknologi. “

Singgah berapi-api. Berorasi didepan benda-benda besi dihadapanya. Cuma satu manusia hidup yang menonton.

“Sudah ceramahnya? Bahkan kau pun tidak sekolah, berdarah biru pun tidak. Siapa yang hendak mendengarkan ceramahmu?”

Ujar satu-satunya benda yang bisa bicara disana.

“Kamu”

“Terpaksa !”

“Saya tidak pernah memaksa kau mendengarkanku.”

“Baik, bukan terpaksa, tapi kasihan.”

“Kasihan kalau kau tidak ada aku ceramah diantara benda-benda elektronik ini?

“Setidaknya mereka adalah hal yang dari Eropa yang mau mendengarkan mu?”

Singgah tertawa cekikikan. Begitu juga dengan Feni.

“Jadi kau sudah tahu? Aku Gila dengan bicara dengan benda-benda Eropa yang mati ini,” Singgah kini kembali berapi-api.

“Tak mengapa. Asal kau tak main gila denganku”

Kalimat itu memadamkan api Singgah. Ia kini tersipu. Tak tau bicara apa. Begitu juga dengan Feni, ia tak berani menatap mata lawan bicaranya.

“Singgah, kau tahu!  Apa yang aku ingin perjuangkan? Aku ingin kita semua, entah kau, pribumi, aku peranakan. Atau bahkan Willem bisa sama-sama berada dalam satu meja makan. Tanpa menyebut kau inlander, kau Cina, atau kau Belanda. Aku hanya ingin bisa hidup, bernafas, dan mati di tanah ini. Tanpa harus bisa dibedakan atau membedakan. Kau mengerti maksudku, kan?”

Api sudah menjadi hujan. Feni kini berkaca-kaca. “Kenapa aku perlu belajar di HCS, kau di Volkschor. Kenapa aku perlu belajar bahasa Mandarin, Belanda, dan Melayu, tapi kita hidup di tanah yang sama, uang yang sama, waktu yang sama, bahkan terik dan hujan yang sama”

Singgah menatap sepatunya. Ia selalu tidak sampai hari melihat Feni menangis. Singgah tahu, ia lemah apabila melihat perempuan menangis.

“Tapi ini selalu sulit bagiku,” Singgah mulai berbicara, “Bagiku, orangtuaku, kakek-nenek ku, mungkin juga buyutku, orang Eropa itu sudah ada disini. Sejak mahir kita semua sudah ada di tanah yang sama. Willem, sahabat kita, walaupun berbasaha Belanda, bermuka dan ber-ayah-ibu Eropa, tidak pernah sekalipun ia pulang kampung dari sejak lahir. Bagi Willem, ia orang Batavia. Bagiku juga. Tentunya,  bagimu juga. Aku tidak pernah memikirkan hal itu. Tapi apa karena memang sudah seperti itu”

“Kalau seperti itu. Kapan kita bisa bersama. Madksudku, apa mungkin kita bersama! Kau mengerti maksudku kan. Kita tidak mungkin bersama. Aku tidak berjuang untuk bangsa ini. Aku berjuang untuk kita.”

Kali ini tangis Feni tidak bisa ditahan. Ia membalikan badannya dan — dengan sedikit berlari — pergi meninggalkan Singgah yang bingung.

Pintu toko dibanting. Meninggalkan Singgah yang belum selesai mencerna semuanya.

Kini semua sunyi. Seakan-akan elektronik-elektronik itu menatap Singgah. Seakan-akan kini lampu sorot ada di Singgah. Mengakhiri orasi berapi-api itu dengan akhir yang nestapa. layar perlahan ditutup. Tokoh utama kalah.

Paman Liem benar datang sore hari. Tidak terlambat, lebih cepat tiga menit sesuai janji dia. Ia datang ke tokonya menemukan Singgah duduk sendiri. “Kemana Feni?”

“Sudah pulang, Paman”

“Ada apa? tidak biasa dia pergi lebih dulu tanpa upah ditangannya.”

“Artikah ajak ia ke bioscoop. Ada film baru yang perlu disiapkan. besok tayang perdana.” Singgah terpaksa berbohong.

“Baik, ini upahnya,” Paman Liem mengambil dompet kulit disakunya, mengeluarkan selembar uang bergambar wayang orang, 5 Gulden.

“Tidak perlu sekarang, Paman. Nanti saja. Esok hari mungkin Feni akan mampir disini untuk hmbil upahnya.”

“Baik kalau begitu. Jangan lupa, rabu depan ku minta barang 1-2 jam untuk kembali menjaga tokoku.”

***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *