Presiden Jokowi dalam tulisannya menjelang periszngatan 71 tahun kemerdekaan Indonesia, Bertumbuh dengan Kerja Nyata, mengakui bahwa pertumbuhan ekonomi pada tahun 2015 belum mampu untuk mengurangi kemiskinan, menciptakan lapangan pekerjaan, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Untuk memperbaiki masalah itu, menggaunglah jargon ‘kerja nyata’. Dua kata itu untuk merepresentasikan fokus strategi pemerintah di tahun ini, yakni percepatan pembangunan, pembangunan institusi, dan meningkatkan SDM.
Salah satu SDM yang mempengaruhi perkembangan ekonomi adalah SDM Iptek. Menurut penelitian Indri, dkk (Pappiptek, 2015), dengan berkembangya SDM Iptek Indonesia di masa sakarang, akan turut mempengaruhi dan meningkatnya perkembangan ekonomi, perkembangan teknologi, dan tingkat pengangguran Indonesia di tahun 2025. Dengan kata lain, SDM Iptek mempunyai peranan penting dalam perkembangan Indonesia di masa depan. Namun masalahnya, jumlah SDM Iptek nasional masih sangat minim. Pada tahun 2014, misalnya, SDM Iptek hanya berkontribusi sebesar 7,13% terhadap angkatan kerja nasional. Maklum saja, realitanya kini Indonesia hanya memiliki 10% penduduknya yang mengenyam pendidikan perguruan tinggi. Sebagian besar adalah pendidikan rendah (Tidak sekolah, SD, dan SMP).
Masalah lain yang timbul adalah kebutuhan SDM Iptek oleh industri dan bisnis dalam negeri tidak dapat terpenuhi oleh stok yang ada. Kenyataanya Indonesia lebih banyak membutuhkan SDM Iptek asing dibandingkan negara asing membutuhan SDM iptek Indonesia. Data Kemenaker dan BNP2TKI, pada tahun 2015 menunjukan setidaknya sebanyak 69 ribu SDM Iptek asing yang masuk Indonesia, sedangkan hanya 8 ribu yang dibutuhkan luar negeri. Padahal masih banyak SDM Iptek yang menganggur dan potensi SDM Iptek yang masih mengenyam pendidikan. Tidak terserapnya SDM iptek nasional, mencerminkan kualitas SDM kita masih rendah dan belum siap bekerja.
Meningkatkan SDM Iptek
Untuk mendukung ‘Menigkatkan SDM Iptek’ seperti yang digagaskan pemerintahan Jokowi, salah satu opsi yang dapat dilakukan adalah menarik permasalah dari akar SDM iptek terbentuk. Menurut Canberra Manual, SDM Iptek terbentuk berdasarkan dua dimensi, yaitu dimensi penyediaan dan dimensi kebutuhan. Sederhananya, dimensi penyediaan merepresentasikan sisi pendidikan, sedangkan kebutuhan mencerminkan sisi lapangan pekerjaan.
Dimensi penyediaan berasal dari SDM yang masih mengenyam pendidikan tinggi di bidang iptek. Penyediaan SDM iptek yang baik terbentuk sistem pendidikan berkualitas yang berkesinambungan. Sederhananya, pendidikan yang berkualitas akan menghasilkan manusia yang berkualiats pula. Hal ini selaras dengan upaya Jokowi untuk memperbaiki sistem pendidikan nasional yang lebih baik, bermutu, dan berkarakter. Sistem pendidikan yang ideal adalah tidak kanya mencetak SDM Iptek agar berkontribusi dalam bidangnya saja, tetapi dapat menciptakan peluang-peluang baru melalui inovasi.
Penyediaan SDM Iptek pula dapat ditingkatkan dengan memperkecil risiko angka putus sekolah, terutama hingga perguruan tinggi. Sudah tepat upaya pemerintah untuk mempertahankan subsidi dalam bidang pendidikan, seperti Kartu Indonesia Pintar, LPDP, Bidikmisi, dan program-program lainya. Namun selain itu semua, yang lebih penting adalah peningkatan infrastruktur pendidikan dan kapasitas pendidikan di perguruan tinggi yang berkualitas dan merata di tiap daerah. Dengan maksud, pendidikan tinggi berkualitas dapat mudah dijangkau dimanapun, walau dari tempat terluar di nusantara.
Kedua adalah dimensi kebutuhan, dengan salah satu upayanya peningkatan jumlah lapangan usaha yang merata, baik secara geografis, klasifikasi pekerjaan, ataupun jenis lapangan usaha. Hingga saat ini, jumlah usaha yang dapat menampung SDM iptek masih minim, terutama industri berteknologi tinggi (hi-tech). Masalahnya bertambah ketika industri hi-tech itu berkumpul di kota-kota besar saja. Selain jumlah SDM iptek yang terbatas, lulusan perguruan tingga belum sepenuhnya dapat terserap melalui industri-industri ini. Peran pemerintah boleh jadi membentuk sistem pelatihan, terutama bagi mereka yang sudah lulus, agar siap bekerja. Selain itu pemerintah dapat pula meningkatkan investasi untuk membuka lapangan usaha baru, menyelenggarakan pelatihan untuk meningkatkan kompetensi, dan bantuan untuk pembiayaan industri kreatif. Kebijakan lainya adalah membatasi jumlah SDM Iptek asing, dan mendorong perkembangan SDM Iptek Indonesia pada bidang-bidang yang strategis.
Perbaikan didua dimensi tersebut sangat relevan terdap gagasan ‘Kerja Nyata’ Jokowi. Implikasi peningkatan SDM berkualitas, dalam hal ini SDM Iptek, tidak lepas dari ‘membangun infrastruktur’ pendidikan, dan pengembangan kapasitas lapangan kerja. Dua hal itu tidak dapat terealisasi tanpa ‘Membangun Institusi’, terutama dalam penguatan sosial-kebangsaan, untuk mencegah potensi brain drain.
Hal lain yang diharapkan olah khalayak Indonesia adalah konsistensi pemerintah untuk meningkatkan SDM Indonesia yang berkualitas, dan tidak lepas dari peran masyarakat untuk membantu merealisasikanya. Berpautan dengan apa yang dimaksud Jokowi : Kerja Nyata berarti kita belum bekerja bila belum ada hasil hasil yang nyata.
Tapi hasil yang nyata membutuhkan proses yang serius. Itulah tugas kita semua.
Ditulis ini pula dimuat dalam harian Media Indonesia, 24 Agustus 2016 :
http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2016/08/24/ArticleHtmls/Bertumbuh-SDM-Iptek-dengan-Kerja-Nyata-24082016006025.shtml?Mode=1
Leave a Reply